Pages

Senin, 14 Maret 2011

Mengenai Aspek Hukum Keuangan dan Perbankan


oleh Beatrix M(25209925) 2eb09

  • Hukum memilliki peranan penting dalam pengembangan berbagai aspek kehidupan bernegara.Hukum di tiap negara diatur sedemikian rupa agar dapat menciptakan kondisi yg sesuai dengan kepentingan masyarakatnya. begitu juga dengan hukum dalam ekonomi.Hukum ekonomi di tiap2 negara diatur dan disesuaikan dgn kebutuhan negaranya.Hal ini tentu menimbulkan terjadi perbedaan2 aturan hukum ekonomi di tiap negara yg mungkin akan membingungkan pada kegiatan ekonomi seperti perdagangan internasional,terjadinya perbedaan ini yg biasa disebut dualisme hukum. walaupun terjadi dualisme hukum  namun diharapkan bahwa adanya penyatuan atau kombinasi dr perwujudan tradisi hukum ekonomi bagi negara-negara yg berkepentingan dapat menyatukan dan menciptakan kebijakan-kebijakan ekonomi yg memberi dampak positif bagi kegiatan ekonomi dan bisnis masing-masing negara. 
  • pelaksanaan Good Corporate Governances selayaknya menjadi pembimbing bagi berlangsungnya kehidupan perbankan yg sehat dan menguntungkan. setiap elemen yg terlibat. Pemerintah,bank sentral,pengawas perbankan dan sektor-sektor usaha harus mempunyai komitmen penuh dalam bekerja sama untuk menciptakan pengelolaan perbankan yg sehat ,fleksibel dan dapat disesuaikan dengan segala kondisi,sehingga peningkatan nilai saham dapat terwujud demi berkembangnya kegiatan ekonomi makro,khususnya di negara-negara Asia.
  • Kerangka hukum di suatu negara sangat penting bagi pembangunan ekonomi. adanya paradigma ‘hukum yang mampu melihat ke depan’ diharapkan mampu menjadi kontribusi penting dalam upaya mencegah atau mengatasi masalah-masalah ekonomi serta menyatukan kebijakan-kebijakan hukum ekonomi,hal ini penting untuk perkembangan bisnis negara,dan menciptakan kegiatan ekonomi yg bermanfaat dan aman bagi setiap negara.

ASPEK-ASPEK HUKUM KEUANGAN DAN PERBANKAN SUATU TINJAUAN PRAKTIS oleh Dr. Jusuf Anwar, SH., MA 2

A. PENDAHULUAN
Kesulitan yang menimpa perekonomian Indonesia, terutama sejak terjadinya krisis
1997 yang masih berlangsung hingga tahun ini, mungkin tidak perlu terjadi apabila
antara lain dunia usaha secara sungguh-sungguh melaksanakan prinsip-prinsip
manajemen keuangan perusahaan yang sehat yakni dengan antara lain
menyeimbangkan struktur permodalan sedemikian rupa sehingga keperluan
jangka pendek benar-benar dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan jangka
pendek, sedangkan keperluan jangka penjang dibiayai dari sumber pembiayaan
jangka panjang. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan struktur permodalan
adalah pencerminan dari perimbangan antara hutang jangka panjang dan modal
sendiri dari suatu perusahaan. Perbaikan struktur permodalan dunia usaha
merupakan keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan memperkokoh daya
saing perusahaan dalam menghadapi persaingan yang semakin tajam terutama
dalam era globalisasi3. Upaya-upaya perbaikan dapat dilakukan salah satunya
dengan memperhatikan aspek-aspek good corporate governance, yang studi dan
risetnya makin banyak dilakukan oleh berbagai institusi baik dalam lingkungan
1 Disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar-Bali, 14-18 Juli 2003.
2 Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Direktur Eksekutif pada Bank
Pembangunan Asia (Asian Development Bank)
3 Jusuf Anwar, Peranan Hukum Sebagai Sarana Perdagangan Surat Berharga Jangka Panjang Dalam
Rangka Pembangunan Nasional, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung, 2001, hlm.2.
nasional maupun internasional. Globalisasi yang ditandai dengan adanya
perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah peta perekonomian,
politik, dan budaya. Pergerakan barang dan jasa terjadi semakin cepat. Modal dari
suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan
teknologi informasi. Sejalan dengan itu, kegiatan perbankan sebagai urat nadi
perekonomian bangsa tidak luput dari dampak globalisasi. Dalam menjalankan
fungsi intermediary, perbankan menjadi pelaku ekonomi yang berperan
memudahkan lalu lintas dana melalui jasa transfer via media elektronik. Salah satu
permasalahan hukum dalam jasa perbankan adalah belum adanya peraturan yang
memberikan rambu-rambu bagi kegiatan transfer dana elektronik ini, seperti dasar
hukum transfer dana, status kepemilikan dana transfer, perlindungan hukum bagi
pengirim dan penerima dana transfer dalam hal terjadi kesalahan yang ditimbulkan
oleh pihak bank, kedudukan pemilik dana dalam hal ini bank dilikuidasi atau pailit.
Permasalah-permasalahan di atas memerlukan aturan agar memberikan
kepastian hukum bagi pengguna jasa perbankan.
Aspek-aspek hukum lain di dalam bidang keuangan dan perbankan juga banyak
mewarnai problematika di bidang ekonomi dan hukum, misalnya penyimpangan
BLBI, prudential principles yang dihadapkan dengan penurunan fungsi
intermediasi perbankan, munculnya fenomena fee-based income dalam praktik
perbankan, dan berbagai persoalan ekonomi-hukum lainnya, yang kesemuanya itu
perlu memperoleh perhatian kita bersama. Penerapan prinsip kehati-hatian
(prudential banking principles) dalam seluruh kegiatan perbakan merupakan salah
satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan
berdampak positif terhadap perekonomian secara makro. Implementasi prinsip ini
harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi
dimulai saat bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji
kecukupan dan kelayakan (fit and proper test) yang tidak bersifat seremonial.
Ketentuan Bank Indonesia yang mewajibkan fit proper test bagi pengurus bank
masih memiliki banyak kelemahan, seperti masih dimungkinkannya pengurus yang
tidak lulus tes untuk tetap bertahan walaupun harus bertanggungjawab secara
pribadi.
Disamping itu, dalam memberikan kemudahan akses kepada para nasabahnya,
maka penggunaan mesin-mesin ATM, debit card dan credit card berpotensi untuk
merugikan nasabah melalui pembobolan rekening, kerusakan mesin, dan
kesalahan-kesalahan teknis lainnya yang belum tersentuh oleh rambu-rambu
hukum. Kewajiban bank untuk menyediakan mesin-mesin yang layak dan aman
seharusnya mengacu pada standart tertentu, yang secara berkala seharusnya
ditera/dikalibrasi ulang. Selama ini belum ada keseragaman mengenai standar
mesin yang layak untuk dioperasikan. Kasus-kasus yang menunjukkan bahwa
kerugian nasabah yang disebabkan tidak layaknya mesin yang digunakan sudah
cukup banyak mendorong dibuatnya standarisasi setiap teknologi yang digunakan.
Tanpa menafikkan keberadaan lembaga peradilan, praktik perbankan memerlukan
penyelesaian kasus-kasus perbankan yang ditangani secara professional,
menjamin stabilitas perekonomian dan kepercayaan masyarakat dan perbankan.
Kasus-kasus perbankan yang ditangani secara bertele-tele, publikasi yang gencar
dan peradilan yang tidak independen, akan meruntuhkan reputasi perbankan.
Oleh karena itu, perlu adanya gagasan untuk menciptakan mekanisme
penyelesaian yang efesien, efektif dan tetap menjaga reputasi perbankan4.
Hal penting lainnya adalah berkaitan dengan Lembaga Penjamin Simpanan.
Sebagai mana di amanatkan oleh UU Perbankan, pembentukan Lembaga
Penjamin Simpanan harus sesegera mungkin diwujudkan menyusul akan
dihapuskannya kewajiban pemerintah sebagai penjamin dan berakhirnya tugas
BPPN. Aspek hukum yang perlu diperhatikan adalah mengenai status Lembaga
Penjamin Simpanan, perolehan dana jaminan dan pemanfaatan dana jaminan,
yang harus dituangkan dalam peraturan yang jelas. Selain itu, berkaitan dengan
berakhirnya tugas BPPN, perlu adanya lembaga sementara yang bertugas
4 Bandingkan dengan lembaga pasar modal yang sudah memiliki BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia).
menyelesaikan seluruh kewajiban BPPN, terutama transaksi-transaksi yang sudah
dilakukan, dan bahkan kemungkinan tuntutan hukum, apabila dalam pengelolaan
aset, BPPN telah melakukan kesalahan atau perbuatan melawan hukum.
Dalam upaya untuk mengcover banyaknya masalah dalam praktik keuangan dan
perbankan nasional tentu bukan hal yang mudah untuk dibahas dalam sebuah
paparan singkat, maka pada hubungan itulah paper ini akan berupaya membahas
lebih lanjut esensi dari berbagai permasalahan yang telah dianalisir dimuka
melalui pembahasan beberapa aspek hukum sektor keuangan dan perbankan,
yang dalam pembahasannya akan mengacu pada beberapa permasalahan utama
yang berkaitan dengan masalah sistem hukum, penerapan good corporate
governance dalam sistem keuangan dan perbankan nasional, dan juga peran
hukum dalam mengakomodasi berbagai fenomena yang terjadi dalam bidang
keuangan dan perbankan.
B. PEMBAHASAN
1. Dualisme Sistem Hukum
Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum
positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiap
keputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan
pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem
hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang
berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan
perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat
terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem
hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.
Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptless
trading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi. Hal ini telah menjadi ciri
umum perdagangan di berbagai negara maju maupun di beberapa negara
berkembangan lainnya, termasuk Indonesia. Praktik scriptless trading ini hanya
dimungkinkan apabila disertai dengan suatu tanda tangan digital yang tidak
dikenal dalam sistem hukum positif di Indonesia, yang akan mengakibatkan
perdagangan tersebut tidak sah sehingga batal dengan sendirinya atau dapat
dibatalkan.
Ketimpangan ini umumnya diselesaikan dengan suatu aturan yang mempunyai
tingkat hierarkhi yang lebih rendah dari Undang-undang. Hal ini dapat saja
dilakukan sepanjang tidak terjadi suatu perselisihan hukum. Namum dalam hal
terjadi perselisihan hukum, maka akan menjadi hal penting untuk di
indentifikasi adalah “sistem hukum mana yang akan dianut oleh para penegak
hukum?”. Jawaban tentu saja “sistem hukum positif Indonesia yakni sistem
hukum Kontinental”. Namun keadaan ini sebenarnya merupakan tantangan
bagi para ahli hukum dalam menerapkan konsep “hukum sebagai sarana
pembaharuan” yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang
bermula dari konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe Pound.
Dengan demikian, hukum harus diciptakan untuk kepentingan masyarakat dan
bukan sebaliknya.
Namun demikian masalah dualisme sistem hukum ini, dapat pula dipandang
sebagai suatu konvergensi positif dari dua sistem hukum yang berbeda.
Konvergensi kedua sistem hukum ini disebabkan utamanya oleh
perkembangan ekonomi dan Internasionalisasi pasar 5. Jadi, sebagai
multiplier effect dari konvergensi di bidang ekonomi, maka pada instansiinstansi
hukum yang relevan dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi.
Dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi. Walaupun ada konvergensi
ekonomi yang berakibat pada konvergensi di bidang hukum, pada
kenyataannya tidak semua aspek hukum yang bersifat prosedural tidak
5 Pistor, Katharina and Philip A. Wellons, The Role Of Law and Legal Institutions in Asian Economic
Development. Oxford University Press, New York-USA, 1999, hlm. 282.
terdapat konvergensi6. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan budaya
dan tradisi hukum di masing-masing negara7. Dengan dipandangnya
pertemuan yang tidak terhindarkan dari kedua sistem hukum yang berbeda ini,
maka konvergensi ini dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan
kondusif bagi kebutuhan bisnis dan ekonomi. Patut pula dicatat faktor penting
lain yaitu kebijakan ekonomi jyang dilakukan oleh pemerintah dari negaranegara
Asia yang menjadi kunci yang determinan bagi perubahan sistem
hukum antara 1960 hingga saat ini 8.
2. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
Menarik untuk disimak kutipan berikut,
“Good corporate governance of banks is the sine qua non of a sound banking
system. For individual banks it can reduces the cost of capital and enhance
shareholder value. The Asia Banking crisis has, in part, been attributed to
serious inadequacies in the governances of banks. Governance restructuring
will have to accompany bank restructuring. If the latter is to be sustainable.
Good bank governance may not work in isolation. It will need to be
accompanied by good governance in the major constituents of the economic
including the governance of central banks, banking supervisory agencies and
in the corporate sector. The post-crisis period has created an environment
where most of the major actors in Asia are now willing to implement
governance reforms. Not only as a way to ensure survival, but also as a
competitive weapon’’9.
Bagi perusahaan, GCG merupakan asset dan memerlukan komitmen dan
investasi. Kultur governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan
keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG
6 Ibid, hlm, 263.
7 Ibid, hlm, 272
8 Ibid, hlm, 273
9 Mathur, Arvind dan Jimmy Burhan, The Corporate Governance Of Banks: CAMEL-IN-A-CAGE, paper
dalam konferensi Internasional tentang ‘Asian Revival; Risk, Change and Opportunity, Asian
Development Bank, Manila-Philippnes,2001 hlm 1. Lihat pula diskusi menarik tentang GCG pada sektor
perbankan
sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah
pemegang saham (increasing shareholder value).
Contoh konkrit adalah huutang perusahaan-perusahaan swasta yang di bailed out
dengan kebijakan ‘blanket guarantee’ semata-mata membuktikan bahwa
sebahagian utama sektor kooperasi yang seharusnya menjadi pemain utama
ekonomi tidak lagi berfungsi sebagai asset negara. Perusahaan-perusahaan
swasta ini menjadi beban (liabilities) yang kiprahnya telah menimbulkan hutang
baru yang harus ditanggung renteng oleh para anak, cucu dan cicit kita.
Lemahnya sektor korporasi ini telah menyebabkan mereka makin jauh dari
peranannya sebagai ‘engine of growth’* atau sebagai primadona pembangunan.
Ekonomi telah beralih ke ekonomi fiskal, ekonomi APBN, yang artinya sepanjang
APBN aman maka demikian pula kinerja ekonominya. Di sisi lain, kita masih
beruntung karena masih memiliki UKM (usaha kecil-menengah) dan sektor
informal yang tinggi daya resistensinya terhadap gejolak yang timbul. Sektor inilah
yang mampu menyerap angkatan kerja serta menggairahkan mekanisme pasar
melalui permintaan dan penawarannya. Jumlah bunga obligasi yang dibayarkan
oleh pemerintah itulah yang masih mampu memutar roda ekonomi. Kota saat ini
hidup di ‘kebun bunga’. ‘Peranan bunga’ sangat dominan malah sektor perbankan
itu sendiri hidup dari memetik ‘bunga’ apakah itu dari obligasi pemerintah maupun
SBI. Penerimaan operasional perbankan kita relatif kecil disbanding dengan
penerimaan lain-lain. Penerimaan dari bunga termasuk ke dalam kelompok lainlain
tersebut. Oleh karenanya dengan segala daya kita harus mampu menjaga
agar pemerintah tidak ingkar janji (default) dalam pemenuhan kewajibannya
membayar bunga. Default hanya berarti ‘ the beginning of the end’ dan orang akan
mulai menengok pada krisi perbankan yang kedua.
* dalam artikel Ratna Januarta, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal
Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Vol 4, nomor 2, Juni 2003, hlm.
103-117
Penyebab utama dari lemahnya pondasi ekonomi makro Indonesia dibuktikan
dalam studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000
di beberapa negara Asia Timur, khususnya Indonesia, Korea, Philippines dan
Thailand, yang menyimpulkan bahwa: ‘countries that sufferes dramatic reversals of
fortune during the Asian financial ciris have identified weaknesses in corporate
governance as one of the major sources of vulnerabilities that led to their
economic meltdown in 1997’’10.
Dilain pihak, Presiden Asian Development Bank, Mr.Tadao Chino pernah
mengatakan bahwa, “…. A dynamic private sector is critical to achieving propoor,
sustainable economic growth....”11. Dalam hal ini sektor korporasi erat kaitannya
dengan usaha pengentasan kemiskinan baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam kesempatan yang sama, pernyataan senada juga disampaikan oleh banyak
pihak yang mewakili negara maju maupun yang mewakili negara berkembang,
dalam hal ini mereka menggaris-bawahi arti penting dan peran GCG dan arti
strategis peran sektor swasta dalam pembangunan.
Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan ekonomi adalah
sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan mereka yang hanya
menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor koporasi ini adalah
kelompok yang patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main
dan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan kata lain, adalah mereka yang
mampu mempraktikkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam
menjalankan usahanya.
Dalam kehidupan saat ini GCG harus merupakan komitmen, dan komitmen ini
membutuhkan investasi. Pembentukan beberapa komite seperti Komite Audit,
Komite Anggaran, dan lain sebagainya, termasuk pula pengangkatan Komisaris
dan Direksi Independen akan memerlukan biaya. Demikian pula penegakkan
10 Zhuang Juzhong et al. Corporate Governance and Finance in East Asia. Vol 1 Asia Development Bank
2000 hlm 1.
11 Chino, Tadao, opening Speech in Asian Development Banks Annual Meeting, Honolulu,USA, May 2001
transparansi, akuntabilitas dan tanggungjawab memerlukan publikasi dan
sosialisasi yang tidak budget neutral.
Manfaatnya sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para
pemegang saham perusahaan. Namun, merubah kultur dan etos kerja tidak pula
mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah
perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada
tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena
sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai aset
perusahaan.
Dengan demikian GCG sulit dimulai apabila orang masih bersikap skeptis. Hal ini
terlihat dari masih banyaknya yang beranggapan bahwa GCG itu tidak perlu
karena tidak adanya sanksi dan insentif. Perusahaan yang tidak menerapkan GCG
malah dinilai lebih maju, karena prinsip keterbukaan perusahaan bagi sementara
pihak dianggap lebih banyak negatif atau mudharatnya.
Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang mudah merasakan
nilai tambah dari aplikasi GCG, seperti lebih mudanya akses ke pasar modal
Internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih
tinggi bagi saham perusahaan yang telah menerapkan GCG. Dalam hubungan ini
kiranya perlu pula digalakkan penerapan label khusus bagi perusahaan yang
sudah menerapkan GCG seperti diberikan ISO khusus untuk GCG. Perusahaan
yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif
lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada dipasar tenaga
kerja pada saat ini, tenaga professional lebih bersikap kritis dalam mencari
pekerjaan. Kelompok tenaga profesional ini hanya ingin bergabung dengan
perusahaan terbaik termasuk didalannya kepatuhannya terhadap praktek etika
bisnis. Bekerja pada perusahaan yang “brengsek” hanya akan membawa petaka.
Para karyawan akan selalu terbawa-bawa ketika perusahaan memperoleh
masalah. Oleh karena itu pula, paradigme shareholder oriented sudah bergeser ke
paradigma stakeholder oriented.
GCG pada dasarnya mencakup etika bisnis, kumpulan etika ini dimuat dalam code
of GCG. Dibutuhkan kesukarelaan dari pihak korporasi dalam mematuhi code ini12.
Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menaatinya karena memang sifatnya
voluntary compliance. Code atau pedoman sejenis ini biasanya pula diterbitkan
oleh lembaga/asosiasi profesi yang tidak mempunyai kewenangan publik,
misalnya Perbanas. Dalam pelaksanaannya, agar pedoman semacam ini dapat
dipaksakan, maka pedoman ini harus dikeluarkan oleh instansi/lembaga yang
mempunyai kewenangan mengatur. Oleh karena itu pula, banyak ketentuan
pedoman GCG yang diambil alih oleh Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku dan masyarakat diwajibkan untuk mematuhinya (mandatory compliance).
Disini dapat di terapkan sanksi bagi para pelanggarnya. Sebagai contoh adalah
ketentuan-ketentuan tentang praktik GCG dalam UU Perseroan Terbatas, UU
Pasar Modal, UU Perbankan dan juga peraturan pelaksanaanya.
Pada banyak negara berkembang, pelaksanaan GCG lebih didorong karena
adanya rasa takut terhadap sanksi yang ada, atau takut kepada para penguasa.
Peraturan yang berlaku menyediakan berbagai sanksi perdata maupun pidana,
bagi para pelanggarnya, apalagi saat ini di mana ultimum remedium lebih
menonjol dari primum remendium. Inilah sikap pentaatan terhadap GCG yang
bersifat regulatory driven dan bukan atas dorongan professional driven dan ethic
driven.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa GCG harus dianggap
sebagai asset yang tidak berwujud (intangible asset) yang akan memberikan hasil
balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah kepada para pemegang
saham. GCG juga harus menajdi way of life atau kultur perusahaan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman
perilaku manajemen.
12 Di Indonesia antara lain diterbitkan oleh Komite Nasional untuk GCG
Prinsip-prinsip responsibility; accountability, fairness, dan transparency yang
pertama kali diperkenalkan oleh OECD menjadi suatu prinsip dasar yang diadopsi
dan diadaptasi oleh banyak institusi dalam menyusun pedoman GCG. Dalam
konteks perbankan, apabila suatu bank akan go public, maka harga sahamnya di
pasar harus mencerminkan keempat prinsip dasar tersebut. Pasar yang efektif dan
efisien hanyalah pasar yang mampu mencerminkan harga yang telah
mengakomodasikan semua informasi yang ada. Praktek tercela insider trading
misalnya, tidak mencerminkan harga yang sebenarnya karena informasi yang
dapat mempengaruhi harga hanya dimiliki oleh para insiders yang melakukan
perdagangan.
Survey terakhir Mc Kinsey pada tahun 2002 membuktikan bahwa investor
bersedia membayar premium bagi ‘awell-governed company’. Untuk Indonesia
mereka bersedia membayar premi sebesar 27%. Suatu kesimpulan yang dapat
ditarik dari survey tersebut adalah bahwa semakin rendah tingkat budaya GCG
pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan semakin tinggi
kepada perusahaan yang menerapkan GCG13. Dalam hal ini, para investor akan
sangat menghargai manajemen perusahaan yang berani melakukan hal positif di
dalam tata kelola perusahaan walaupun lingkungannya tidak mendukung. Dengan
demikian, tidak ada pilihan lain, bagi sebuah bank yang merupakan lembaga
bisnis kepercayaan selain menerapkan konsep GCG termaksud.
Demikian pula komisaris dan direksi yang sudah berada pada jaman dan nuansa
pengelolaan bisnis yang berubah dimana suatu perusahaan yang tinggi daya
resistensinya terhadap berbagai krisis dan tinggi sustainabilitynya, hanyalah
perusahaan dengan tata kelola yang bernuansa GCG. Selaku leader of the last
resort, Bank Sentral juga harus mengeluarkan pedoman GCG yang dapat diikuti
oleh kalangan perbankan. Di dalam pedoman yang bersifat voluntary ini, harus
dimuat hal pokok dimana kewajiban pemenuhannya bersifat mandatory. Sistem
reward and punishment harus diperkenalkan. Hingga saat ini, belum ada satu
13 Ratna Jakarta, op sit, hlm. 106
bank pun yang mampu mengibarkan bendera GCG sebagai salah satu
bonafiditasnya. Belum ada benchmark bagi suatu bank yang fully GCG.
“the legal framework in a country is as vital for economic development as for
political and social development. Creating wealth through the cumulative
commitmen of human, technological and capital resources depends greatly on
a set of rules securing property rights, governing civil and commercial
behaviour, and limiting the power of the state…. The legal framework also
effects the lives of the poor and , as such, has become an important dimension
of strategies for poverty alleviation. Ini the strunggle against discrimination, in
the protection of the socially weak, and in the distribution of opportunities in the
society, the law can make an important contribution to a just and equitable
society and thus to prospects for social development and poverty alleviation’’14
pernyataan yang optimis dari World Bank tersebut merupakan referensi yang
bermanfaat untuk mendiskusikan peran hukum dalam pembangunan. Esensi dari
pernyataan tersebut antara lain menggaris-bawahi bahwa kerangka kerja hukum
dalam suatu negara adalah sangat penting bagi perkembangan ekonomi, politik
dan sosial. Kerangka hukum yang ditata baik sejak awal akan menciptakan efek
domino yang baik pada berbagai sektor kehidupan bernegara, dan sebaliknya.
Dalam kerangka mencapai sasaran berbagai perkembangan dan pembangunan
tersebut hukum harus menampakkan perannya. Dalam kaitannya dengan
kerangka dasar pembangunan nasional, hukum mewujudkan diri dalam 2 wajah,
yaitu di satu pihak hukum memperketatkan diri sebagai suatu aspek
pembangunan, artinya bahwa hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari
pembangunan itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha
penegakan pembangunan dan pembinaannya15. Di lain pihak hukum itu harus
dipandang sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang
akan menentukan keberhasilan usaha-usaha pembangunan nasional. Berkaitan
dengan masalah hubungan hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai
14 World Bank, Governance: The world Bank’s Experience: The World Bank Washington DC, 1994
sebagaimana dikutip dalam Mc Auslan, Patrick, Law, Governance and the development of the market
practical problems and possible solutions dalam Faundez, Julio, Ed, Good Government and Law-Legal
and Institution Reform in Developing Countries The British Council, 1997, hlm 25
15 Jusuf Anwar, op cit, hlm 33.
konsep yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka berpendapat
bahwa dalam pembangunan yang dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya
sekedar “as a tool of social control” atau sebagai alat yang berfungsi
mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe
Pound, hukum juga berfungsi sebagai “as a tool of social engineering”16.
Sehubungan dengan hal ini Sumaryati Hartono berpendapat, penyusunan UUD
1945 sebenarnya beranjak pada filsafah futuristik yang antara lain dikemukakan
oleh Roscoe Pound, dan yang sekarang dikenal sebagai falsafah hukum yang
melihat peranan hukum sebagai a tool of social engineering. Falsafah ini di
Indonesia disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai falsafah yang
memberikan peranan kepada hukum sebagai sarana pembangunan, yang
pendekatannya ternyata memang sudah diterapkan oleh penyusun UUD 194517.
Hukum hanya berpegang pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah,
memaksa, serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan
yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, di dalam “social
Engineering” ini sangat penting peranan dan umpan balik (feedback), agar
pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan dengan keadaan yang timbul di
masyarakat. Apabila hukum itu dilihat sebagai suatu sarana penunjang terhadap
pembangunan maka fungsi hukum itu harus mempunyai suatu pola tertentu.
Konsep Mochtar Kusumaatmadja terasa memiliki ruang lingkup yang sangat luas –
lebih daripada Roscoe Pound sendiri sebagai orang pertama yang
mengkonsepsikan fungsi hukum sebagai tool seperti dijelaskannya: “Dalam
artinya yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
16 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale Unversity Press, USA, 1854, hlm 47,
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Bandung, LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung 1976, hlm, 11-12
17 Mochtar Kusumaatmadja, hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK. UNPAD,
Binacipta, Bandung 1976, hlm 9 Suatu uraian tentang landasan pikiran, pola dan mekanisme
pembaharuan hukum di Indonesia.
melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses
(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dalam kenyataan”18.
Dalam sistem hukum ini, hukum pembangunan (development) meliputi segala
tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga
hukum, organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum serta
segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian problem khusus
“pembangunan”. Konsepsi hukum pembangunan selaras dengan orientasi baru
mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rusted yang
mengatakan bahwa hukum itu adalah the legal machinery in action yaitu sebagai
suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Advokat dan keadaan diri pribadi daripada individu penegak hukum itu sendiri
bahkan juga fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum19.
Dengan demikian paradigma “hukum sebagai jawaban atas masalah yang timbul’
harus diubah menjadi paradigma ‘hukum yang mampu melihat ke depan’ (forward
looking) terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kasus perdata maupun pidana
yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat dibukanya dunia cyber.
Perkembangan teknologi tidak saja menumbuhkan kemajuan ekonomi, akan tetapi
pula membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk memanfaatkan dunia yang
menjadi seamless dan borderless. Contoh yang umum adalah relevan dengan
terjadinya peluang kejahatan seperti tindakan pencucian uang serta adanya rezim
devisa bebas yang telah dianut Indonesia sekitar tiga dekade belakangan ini.
Contoh lain adalah penerapan sistem ‘single entry’ untuk akuntasi keuangan
pemerintah yang diberlakukan ICW di satu pihak, dan dipihak lainnya adalah
kebutuhan untuk menerapkan sistem ‘double entry’ sesuai dengan Standar
keuangan Internasional. Merupakan kenyataan yang sangat menggembirakan
18 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, cetakan Kedua
LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung, hlm 11
19 S. Tasrif, peranan Hukum dan Pembangunan, Primsa no. 6 Tahun ke III, 1993, hlm 5
bahwa saat ini telah terdapat penyesuaian terhadap ketentuan Perundangundangan
keuangan negara, antara lain diundangkannya UU Keuangan Negara
(2003) yang akan diikuti dengan UU Perbendaharaan Negara serta UU
Pengawasan Keuangan Negara. Kedua ketentuan yang terakhir dan masih dalam
bentuk rancangan Undang-Undang tersebut saat ini sedang dalam pembahasan
intensif antara pemerintah dan DPR yang diharapkan selesai dalam tahun 2003.
hal ini merupakan contoh responsifnya hukum terhadap kebutuhan ekonomi walau
sangat terlambat. Sebagai informasi tambahan, pembahasan konsep UU
Keuangan Negara telah digarap oleh tidak kurang 15 tim sejak sekitar 30 tahun
lalu.
C. PENUTUP
1. Terjadinya dualisme hukum sebaiknya disikapi sebagai suatu hal yang positif
dan dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan kondusif bagi
kebutuhan bisnis dan ekonomi. Faktor penting lainnya yaitu kebijakan ekonomi
yang dilakukan oleh pemerintah dari negara-negara Asia menjadi kunci yang
diterminan bagi pergeseran dan perubahan sistem hukum di banyak negara
Asia antara 1960 hingga saat ini. Namun demikian, perpaduan sistem hukum
ini belum dapat diklaim sebagai kovergensi penuh dan total dari kedua sistem
kontinental dan Anglo Saxon, karena aspek-aspek lain yang bersifat
prosedural banyak dibentuk dari sejarah, budaya dan tradisi hukum masingmasing
negara.
2. Penerapan good corporate governance harus dilakukan penuh kesadaran atau
komitmen yang tinggi dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam konteks
keuangan dan perbankan, hal ini akan menjadi tugas setiap elemen
perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan, asosiasi
keuangan dan perbankan, BPPN, dan juga Bank Sentral.
3. Perubahan paradigma tentang peran hukum, serta dari ‘hukum yang mengikuti
perkembangan ekonomi dan masyarakat’ menjadi ‘hukum yang berorientasi ke
depan yang mampu mengantisipasi dan mengakomodasi serta menjembatani
masalah hukum dan ekonomi dalam masyarakat nasional, namun juga
akomodatif dan mampu berintegrasi dengan ketentuan-ketentuan internasional
yang relevan, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi perkembangan
ekonomi dan hukum.

Jumat, 04 Maret 2011

Bentuk-Bentuk Badan Usaha

Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk baan yaitu :

1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2. Koperasi
3. Swasta

Pembagian atas tiga bentuk Badan Usaha tersebut bersumber dari Undang – Undang 1945 khususnya pasal 33. Dalam pasal tersebut terutang adanya Konsep Demokrasi Ekonomi bagi perekonomian Negara. Di mana dalam Konsep Demokrasi Ekonomi ini terdapat adanya kebebasan berusaha bagi seluruh warga negaranya dengan batas – batas tertentu. Hal ini berati bahwa segenap warga negara Republik Indonesia diberikan kebebasan dalam menjalankan untuk kegiatan bisnisnya. Hanya saja kebebasan itu tidaklah tak ada batasnya, akan tetapi kebebasan tersebut ada batasanya.
Adapun batas – batas tertentu itu meliputi dua macam jenis usaha, dimana tehadap kedua jenis usaha ini pihak swasta dibatasi gerak usahanya. Ke dua jenis usaha itu adalah :
a. Jenis – jenis usaha yang VITAL yaitu usaha – usaha yang memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian negara. Misalnya saja : minyak dan gas bumi, baja, hasil pertambngan, dan sebgainya.
b. Jenis – jenis usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak. Misalnya saja : usaha perlistrikan, air minum. Kereta api, pos dan telekomunikasi dan sebagainya.
Terhadap kedua jenis usaha tersebut pengusahaannya dibatasi yaitu bahwa usaha – usaha ini hanya boleh dikelola Negara.


1. BADAN USAHA MILIK NEGARA ( BUMN )

BUMN adalah suatu bangun usaha yang didirikan oleh Negara dan pemiliknya dipegang oleh Pemerintah atau Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini terdapat berbgai macam antara lain yang berupa Perusahaan Jawatan ( PERJAN ), Perusahan Negara ( PN ), Perusahaan Umum ( PERUM ) dan Persero ( PT. Persero )
Bentuk Perum ini merupakan perusahan yang menjadi milik dan dikelola oleh suatu Departemen Pemerintah. Sebagai contoh adalah Perum Perhutani yang bergerak dibidang kehutanan dan perkayaan yang menjadi milik dan dikelola oleh Departemen Kehutanan RI. Selain bentuk Perum masih terdapat bentuk lain yaitu
Perusahaan Jawatan yaitu yang pemilikannya dipegang oleh suatu Jawatan tertentu dibawah suatu Departemen. Sebagai misal adalah Perusahaan Jawatan Kereta Api ( PERJANKA atau PJKA ) yang saat ini sudah diganti menjadi bentuk Perumka. Bentuk yang lain lagi adalah yang berupa Perusahaan Negara ( PN ), sebagai contoh adalah Perusahaan Negara Perkebunan atau PNP. Bentuk ini kemudian diganti namanya menjadi Perseroan Terbatas ( PT ). Persero karena pemilikan dari usaha ini oleh negara diwujudkan dalam bentuk Saham atau Sero dari yang bertindak sebagai saham atau perseronyaadalah Menteriyang bersangkutan. Sebagai contohnya adalah PT. Persero Perkebunan yang pada umunya dikenal sebagi singkatan PTP ( Perseroan Terbatas Perkebunan ) atau PNP XIX misalnya adalah Perusahaan Negara Perkebunan di Surakarta yang bergerak dibidang perkebunan tembakau. Disamping bentuk BUMN yang merupakan perusahan milik Pemda ini dikenal dengan sebutan Perusahaan Daerah atau disingkat PD. Sebagai contoh di Yogyakarta terdapat PD. Purosani yang bergerak dibidang Pariwisata, PD
Pertambangan Mangan dibidang pertambangan, pada saat ini sudah digabungkan menjadi satu yaitu PD. ANINDYA ( Aneka Industri dan Jasa ). Di usaha cerutu dan tembakau sigaret atau tembakau shag. Perubahan bentuk hukum dari perusahaan milik negara tersebut telah terjadi pada berbagai jenis badan milik negara. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak bisnis yang lebih longgar kepada badan usaha yang bersangkutan.Ruang gerak yang lebih longgar berada pada bentuk perum dan yang paling luas adalah bentuk persero.Sedangkan bentuk PN dan Perjan merupakan bentuk yang paling tidak longgar dimana dalam bentuk ini segala kebijakan bisnis dari perusahaan itu berada sepenuhnya ditangan Pemerintah cq Kepala Jawatan yang bersangkutan.
Adapun ciri-ciri bentuk usaha BUMN ini adalah sebagai berikut:
· Modalnya disetor oleh Pemerintah melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara/Daerah/APBD) yang disalurkan melalui Bank Pemerintah Pusat atau Daerah(BPD)
· Seluruh modalnya adalah merupakan milik negara
· Bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menciptakan kemakmuran rakyat.
Keberhasilan BUMN ini diukur menggunakan tolok ukur banyaknya jumlah masyarakat yang memperoleh pelayanan dengan harga yang wajar.
Bentuk BUMN Indonesia jika digolongkan berdasarkan pentingnya cabang usaha yang dijalankan,dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1. BUMN untuk cabang usaha yang VITAL .
2. BUMN untuk cabang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak.

BUMN yang bergerak dalam cabang usaha yang vital ini berusaha untuk mengelola bidang – bidang usaha pengolahan sumber – sumber alam yang terpendam di dalam perut bumi atau dipermukaan bumi serta yang ada di dalam air maupun udara. Sebagai contoh bentuk badan usaha ini adalah :
§ Perum –Perum Pertambangan
§ Perusahaan Listrik Negara ( PLN )
§ Perum Jasa Marga yang bergerak di bidang pembangunan prasana jalan, jembatan, lapangan terbang maupun pelabuhan.
§ Perum Pos, Giro dan Telekomunikasi
§ Perum Peruri ( Percetakan Uang Republik Indonesia ) yang bergerak dalam bidang pencetakan uang yang diedarkan di Indonesia.
§ PT. Persero Pindad ( Perusahaan Industri Angkatan Darat ) yang begerak dalam bidang produksi alat –alat persenjataan untuk keperluan Angkatan Darat dan ABRI.

BUMN yang bergerak dalam cabang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah badan usaha yang mengelola sumber – sumber daya yang ditunjukan bagi kehidupan dan kesejahteraan rakyat banyak. Apabila cabang usaha tersebut diserahkan kepada swasta maka dikhawatirkan akan tidak ditunjukan untuk kesejahteraan rakyat akan tetapi untuk mengejar keuntungan bisnis semata – mata. Yang termasuk dalam golongan ini adalah :
§ Perum Damri
§ Perum KA
§ Perum Pelni
§ Perum Pegadaian
§ Perum Balai Pustaka
§ PT. Persero Aneka Gasw dll
Adapun BUMN yang ada di Indonesia pada saat ini berjumlah 189 buah yang bernaung di bawah beberapa Departemen dan ada pula yang tidak bernaung pada Departemen tertentu. Masing-masing BUMN mengalami perkembangan yang berbeda-beda sehingga mengakibatkan kondisi yang berbeda pula. Ada BUMN yang memiliki kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan dan ada pula yang berbeda dalam kondisi yang menggemburakan. Kondisi yang menggembirakan tercermin dalam suatu kondisi yang sering disebut sebagai kondisi kesehatan usaha yang sangat sehat, sedangkan kondisi yang mengkhawatirkan disebut sebagai kondisi kesehatan yang tidak sehat. Dalam hal penilaian kesehatan usaha BUMN ini terdapat suatu pedoman penilaian yang menggolongkan tingkat kesehatan usahanya kedalam 4 kategori yaitu :
§ Sehat sekali (SS)
§ Sehat (S)
§ Kurang Sehat (KS)
§ Tidak Sehat (TS)

Pedoman penilaian atas kesehatan usaha bagi BUMN ini tertuang dalam suatu Surat Keputusan Mentri Republik Indonesia Nomor : 740/KMK.00/1989 tertanggal 28 Juni 1989 yang merupakanpenjabaran lebih lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 tentang Pedoman Badan Usaha Milik Negara. Penilaian tingkat kesehatan usaha bagi BUMN tersebut secara ringkas dapat dilihat seperti dalam tabel berikut :

Kriteria Penilaian Kesehatan BUMN
Kategori Rentabilitas Likuiditas Solvabilitas
Sehat SekaliSehatKurang sehatTidak Sehat > 12%8% - 12% 5% - 8%<> 150100 - 15075 – 100<> 200150 – 250100 – 150<100
Bobot 75% 12,5% 12,5%
Hasil penelitian atas dasar pedoman penilaian itu beserta cara pengembangan yang direncanakan terhadap masing – masing BUMN sesuai dengan kondisi kesehatan yang dimiliki oeh masing – masing BUMN tersebut.


2. KOPERASI

Ditinjau dari arti katanya koperasi dalam bahasa asing cooperation artinya sebagai kerja sama. Sedangkan dalam arti bisnis koperasi merupakan bentuk kerja sama dari para anggaota dengan tujuan agar dapat memenuhi kebutuhan mereka bersama secara lebih ekonomis. Dengan demikian koperasi dapat dibentuk oleh konsumen ataupun oleh para produsen.
Koperasi konsumsi adalah koperasi yang dibentuk oleh para konsumen. Sedangkan Koperasi Produksi adalah koperasi yang dibentuk oleh produsen. Yang lebih dikenal dengan sebutan KUD (Koperasi Unit Desa).
Bentuk koperasi ini secara modern mula – mula tercetus di Inggris pada awal abad 19 dan kemudian berkembang keseluruh daerah Eropa dan kemudian menjalar kebenua yang lain. Di Indonesia sejak tahun 1950-an telah semakain digalakan pengembangan koperasi ini oleh Pemerintah RI. Upaya pengembangan koperasi ini ditugaskan kepada suatu jawatan yang dibentuk pada saat itu Jawatan Koperasi pada bulan Oktober 1950 yang sampai saat ini lalu ditetapkan “ Hari Koperasi ”. Dengan dibentuknya Jawatan Koperasi ini diharapkan perkembangan bentuk Badan Usaha Koperasi ini menjadi semakin berakar di masyarakat. Seorang tokoh termuka yang menganjurkan bentuk Koperasi ini di Indonesia adalah DR. Mohammad Hatta yang kemudian dianggap sebagai “ Bapak Koperasi Indonesia “. Pemerintahan RI menyadari bahwa faham koperasi ini merupakan penjabaran dari jiwa dan semangat dari pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Oleh karena itu maka pemerintah dengan giat membina gerakan koperasi itu antara lain dengan menumbuh kembangkan Koperasi Unit Desa (KUD). KUD adalah merupakan Lembaga Ekonomi Pedesaan yang dibentuk untuk mengatasi masalah – masalah ekonomi yang dihadapi oleh kelompok usaha tani didaerah pedesaan. Yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mendorong peningkatan produksi pertanian rakyat. Perkembangan berikutnya dengan diundangkannya Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 2/1987 diperluaslah peranan KUD yaitu menciptakan kestabilan harga pangan serta sebagai mesia memperluas kesempatan kerja dipedesaan. Dengan demikian maka fungsi KUD adalah :
§ Perkreditan
§ Penyediaan Sarana Produksi, Barang – barang Kebutuhan Pokok dan Jasa.
§ Pengolahan dan Pemasaran Hasil – hasil Produksi, serta
§ Kegiatan – kegiatan Perekonomian yang lain.


Tujuan utama yang terkandng dari usaha bersama adalah agar memperoleh kekuatan bersama sehingga akan memperoleh daya saing yang lebih kuat. Hal semacam ini biasanya terjadi pada pengusaha kecil, pertanian kecil dll.
Adapun tujuan yang terkandung dalam bentuk usaha koperasi adalah :
a. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan Anggota.
b. Meningkatkan kemakmuran yang adil dan merata bagi segenap anggota – anggota.
Dalam melaksanakan tugas – tugasnya koperasi memiliki prinsip dasar kerja yang berbunyi : “Dari Anggota, Untuk Angota dan Oleh Anggota”. Dari prinsip kerja tersebut memanglah terungkap bahwa semata – mata untuk kepentingan bersama para anggota – anggotanya dan tidak menyangkupan kebutuhan pihak lain ataupun pihak lain.
Bentuk koperasi ini dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu :
a. Koperasi Konsumsi
b. Koperasi Kredit
c. Koperasi Produksi
d. Koperasi Jasa
e. Koperasi Serba Usaha
Koperasi Konsumsi adalah koperasi yang bergerak dalam usaha untuk memenuhi kehidupan hidup sehari – hari bagi para anggotanya, misal : beras, sabun, gula, dll. Contoh bentuk ini :
§ Koperasi Pegawai Negri (KPN)
§ Koperasi Mahasiswa (KOPMA)dll.
Koperasi Kredit berusaha untuk mengumpulakn uang simpanan dari para anggota dan kemudian meminjamkannya lagi kepada anggota yang lain yang membutuhkan modal untuk keperluan hidup.
Koperasi Produksi berusaha bersama dalam pengadaan alat – alat perlengkapan produksi, bahan baku, bangunan gudang penyimpanan hasil produksi dari para anggotanya.
Koperasi Jasa bergerak dibidang jasa pelayanan umum yang diperlukan para anggota. Contoh : Kopata(Koperasi Angkutan Kota), Kopedes(Koperasi Angkutan Pedesaan) dll.
Koperasi Serba Usaha adalah berusaha untuk mengelola berbagai jenis kebutuhan yang diperlukan bagi para anggotanya. Contoh : KUD yang mengusahakan bermacam – macam kebutuhan warga desa yang umumnya petani, mengelola mulai dari kebutuhan masyarakat tani peternakdan nelayan maupun kebutuhan sehari – hari.



3. SWASTA

Bentuk badan usaha ini adalah badan usaha yang pemiliknya sepenuhnya berada ditangan individu atau swasta. Yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga ukuran keberhasilannyajuga dari banyaknyakeuntungan yang diperoleh dari hasil usahanya. Perusahaan ini sebenarnya tidakalah selalu bermotif mencari keuntungan semata tetapi ada juga yang tidak bermotif mencari keuntungan. Contoh : perusahan swasta yang bermotif nir-laba yaitu Rumah Sakit, Sekolahan, Akademik, dll.
Bentuk badan usaha ini dapat dibagi kedalam beberapa macam :
a. Perseorangan
b. Firma/Kongsi Perserikatan
c. Perserikatan Komanditer (CV)
d. Perseroan Terbartas (PT atau NV)
e. Yayasan

A. Perseorangan

Bentuk ini merupakan bentuk yang pertama kali muncul di bidang bisnis yang paling sederhana, dimana dalam hal ini tidak terdapat pembedaan pemilikan antara hal milik pribadi dengan milik perusahaan. Harta benda yang merupakan kekayaan pribadi sekaligus juga merupakan kekayaan perusahaan yang setiap saat harus menanggung utang – utang dari perusahaan itu.
Bentuk badan usaha semacam ini pada umumnya terjadi pada perusahaan – perusahaan kecil, misalnya bengkel kecil, toko pengecer kecil, kerajinan, serta jasa dll.
Keuntungan – keuntungan dari bentuk Perseorangan ini adalah :
§ Penguasaan sepenuhnya terhadap keuntungan yang diperoleh.
§ Motivasi usaha yang tinggi.
§ Penanganan aspek hukum yang minimal.

Kekurangan – kekurangan dari bentuk Perseorangan ini adalah :
§ Mengandung tanggung jawab keuangan tak terbatas.
§ Keterbatasan kemampuan keuangan.
§ Keterbatasan manajerial.
§ Kontinuitas kerja karyawan terbatas
B. FIRMA

Bentuk ini merupakan perserikatan atau kongsi ataupun persatuan dari beberapa pengusaha swasta menjadi satu kesatuan usaha bersama. Perusahaan ini dimiliki oleh beberapa orang dan pimpin atau dikelola oleh beberapa orang pula.
Tujuan perserikatan ini adalahuntuk menjadikan usahanya menjadi lebih besar dan lebih kuat dalam permodalannya.
Bentuk ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang sama dengan bentuk Perseorangan, akan tetapi karena Firma ini adalah gabungan dari beberapa usaha perseorangan maka kontinuitas akan lebih lama, kemampuan permodalannya akan lebih menjadi besar. Akan tetapi tidak jarang dengan bergabungnya dua orang pengusaha itu justru mengakibatkan perselisihan yang kadang – kadang usahanya menjadi tak terkontrol dengan baik karena sering terjadi konflik antar keduanya.

C. Perserikatan Komanditer

Bentuk ini banyak dilakukan untuk mempertahankan kebaikan – kebaikan dari bentuk perseorangan yang memberikan kebebasan dan penguasaan penuh bagi pemiliknya atas keuntungan yang diperoleh oleh perusahan. Disamping itu untuk menghilangkan atau mengurangi kejelekan dalam hal keterbatasan modal yang dimilikinya maka diadakanlah penyertaan modal dari para anggota yang tidak ikut aktif mengelola bisnisnya, yang hanya menyertakaan modalnya saja dalam bisnis itu.
Bentuk ini memiliki dua macam anggota yaitu :
§ Anggota aktif (Komanditer Aktif) adalah anggota yang aktif menjalankan usaha bisnisnya dan menanggung segala utang – utang perusahaan.
§ Anggota tidak aktif (Komanditer Diam) adalah anggota yang hanya menyertakan modalnya saja. Maka dari itu kertabatas modal perusahaan dapat dihindarkan, sehingga perusahaan akan dapat mencari dan mendapatkan modal yang lebih besar untuk keperluan bisnisnya. Hal ini merupakan salah satu kebaikan dari bentuk Perserikatan Komanditer, dibandingkan dengan bentuk – bentuk lain yang sudah dibicarakan diatas.



D. Perseroan Terbatas (PT)

Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang banyak dipilih, terutama untuk bisnis – bisnis yang besar. Bentuk ini memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk menyertakan modalnya kedalam bisnis tersebut sengan cara membeli saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan itu. Dengan membeli saham suatu perusahaan masyarakat akan menjadi ikut serta memiliki perusahaan itu atau dengan kata lain mereka menjadi Pemilik Perusahaan tersebut. Atas pemilikan saham itu maka mereka para pemegng saham itu lalu berhak memperoleh pembagian laba atau Deviden dari perusahaan tersebut. Para pemegang saham itu mempunyai tanggung jawab yang terbatas pada modal yang disertakan itu saja dan tidak ikut menanggunng utang – utang yang dilakukan oleh perusahaan
Perseroan Terbatas ini akan menjadi suatu Badan Hukum tersendiri yang berhak melakukan tindakan – tindakan bisnis terlepas dari pemegang saham. Bentuk ini berbeda dengan bentuk yang terdahulu yang memiliki tanggung jawab tak terbatas bagi para pemiliknya, yang artinya para pemilik akan menanggung seluruh utang yang dilakukan oleh perusahaan. Berarti apabila kekayaan perusahaan maka kekayaan pribadi dari para pemiliknya ikut menanggung utang tersebut. Dengan semacam itu tanggung jawab renteng. Lain halnya dengan bentuk PT dimana dalam bentuk ini tanggung jawab pemilik atau pemegang saham adalah terbatas, yaitu sebatas modal yang disetorkannya. Kekayaan pribadi pemilik tidak ikut menanggung utang – utang perusahaan. Oleh karena itu bentuk ini disebut Perseroan Terbatas (Naamlose Venootschaap/NV).
Kelebihan – kelebihan Bentuk ini adalah :
§ Memiliki masa hidup yang terbatas.
§ Pemisahan kekayaan dan utang – utang pemilik dengan kekayaan dan utang – utang perusahaan.
§ Kemampuan memperoleh modal yang sangat luas
§ Penggunaan manajer yang profesional.

E. YAYASAN


Yayasan adalah bentuk organisasi wasta yang didirikan untuk tujuan sosial kemasyarakatanyang tidak berorientasipada keuntunga. Misalnya Yayasan Panti Asuhan, Yayasan yang mengelola Sekolahan Swasta, Yayasan Penderita Anak Cacat dll.


ref : http://qeyty.blogspot.com
wikipedia.org

Pengusaha dan Kewajibannya

Pengusaha adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan. orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.

KEWAJIBAN PENGUSAHA
1. Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya

2. Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan

3. Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan

4. Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan

5. Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi

6. Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih

7. Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek.

http://www.semarang.go.id/cms/pemerintahan/dinas

Hubungan Pengusaha Dan Pembantunya dlm Hukum Dagang

Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaannya. Dalam menjalankan perusahannya pengusaha dapat:
a. Melakukan sendiri, Bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri, merupakan perusahaan perseorangan.
b. Dibantu oleh orang lain, Pengusaha turut serta dalam melakukan perusahaan, jadi dia mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan dan merupakan perusahaan besar.
c. Menyuruh orang lain melakukan usaha sedangkan dia tidak ikut serta dalam melakukan perusahaan, Hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang pengusaha dan merupakan perusahaan besar.

Sebuah perusahaan dapat dikerjakan oleh seseorang pengusaha atau beberapa orang pengusaha dalam bentuk kerjasama. Dalam menjalankan perusahaannya seorang pengusaha dapat bekerja sendirian atau dapat dibantu oleh orang-orang lain disebut “pembantu-pembantu perusahaan”. Orang-orang perantara ini dapat dibagi dalam dua golongan. Golongan pertama terdiri dari orang-orang yang sebenarnya hanya buruh atau pekerja saja dalam pengertian BW dan lazimnya juga dinamakan handels-bedienden. Dalam golongan ini termasuk, misal pelayan, pemegang buku, kassier, procuratie houder dan sebagainya. Golongan kedua terdiri dari orang-orang yang tidak dapat dikatakan bekerja pada seorang majikan, tetapi dapat dipandang sebagai seorang lasthebber dalam pengertian BW. Dalam golongan ini termasuk makelar, komissioner.
Namun, di dalam menjalankan kegiatan suatu perusahaan yang dipimpin oleh seorang pengusaha tidak mungkin melakukan usahanya seorang diri, apalagi jika perusahaan tersebut dalam skala besar. Oleh karena itu diperlukan bantuan orang/pihak lain untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan usaha tersebut.

Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi 2 fungsi :
1. Membantu didalam perusahaan
2.. Membantu diluar perusahaan

1. Adapun pembantu-pembantu dalam perusahaan antara lain:
a) Pelayan toko adalah semua pelayan yang membantu pengusaha dalam menjalankan perusahaannya di toko, misalnya pelayan penjual, pelayan penerima uang (kasir), pelayan pembukuan, pelayan penyerah barang dan lain-lain.

b)Pekerja keliling ialah pembantu pengusaha yang bekerja keliling diluar kantor untuk memperluas dan memperbanyak perjanjian-perjanjian jual beli antara majikan (pengusaha)dan pihak ketiga.

c) Pengurus filial ialah petugas yang mewakili pengusaha mengenai semua hal, tetapi terbatas pada satu cabang perusahaan atau satu daerah tertentu.

d) Pemegang prokurasi ialah pemegang kuasa dari perusahaan. Dia adalah wakil pimpinan perusahaan atau wakil manager, dan dapat mempunyai kedudukan sebagai kepala satu bagian besar dari perusahaan itu. Ia juga dapat dipandang berkuasa untuk beberapa tindakan yang timbul dari perusahaan itu, seperti mewakili perusahaan itu di muka hakim, meminjam uang, menarik dan mengakseptir surat wesel, mewakili pengusaha dalam hal menandatanganu perjanjian dagang, dan lain-lain.

e) Pimpinan perusahaan ialah pemegang kuasa pertama dari pengusaha perusahaan. Dia adalah yang mengemudikan seluruh perusahaan. Dia adalah yang bertanggung jawab tentang maju dan mundurnya perusahaan. Dia bertanggung jawab penuh atas kemajuan dan kemunduran perusahaan. Pada perusahaan besar, pemimpin perusahaan berbentuk dewan pimpinan yang disebut Direksi yang diketuai oleh seorang Direktur Utama.

Hubungan hukum antara pimpinan perusahaan dengan pengusaha bersifat :
(1) Hubungan perburuhan, yaitu hubungan yang subordinasi antara majikan dan buruh, yang memerintah dan yang diperintah. Manager mengikatkan dirinya untuk menjalankan perusahaan dengan sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk membayar upahnya (pasal 1601 a KUHPER).

(2) Hubungan pemberian kekuasaan, yaitu hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 dsl KUHPER yang menetapkan sebagai berikut ”pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan”. Pengusaha merupakan pemberi kuasa, sedangkan si manager merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa mengikatkan diri untuk melaksakan perintah si pemberi kuasa, sedangkan si pemberi kuasa mengikatkan diri untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan.

Dua sifat hukum tersebut di atas tidak hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan dan pengusaha, tetapi juga berlaku bagi semua pembantu pengusaha dalam perusahaan, yakni: pemegang prokurasi, pengurus filial, pekerja keliling dan pelayan toko. Karena hubungan hukum tersebut bersifat campuran, maka berlaku pasal 160 c KUHPER, yang menentukan bahwa segala peraturan mengenai pemberian kuasa dan mengenai perburuhan berlaku padanya. Kalau ada perselisihan antara kedua peraturan itu, maka berlaku peraturan mengenai perjanjian perburuhan (pasal 1601 c ayat (1) KUHPER.

2. Adapun pembantu-pembantu luar perusahaan antara lain:
a) Agen perusahaan
Agen perusahaan adalah orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai perantara pihak ketiga. Orang ini mempunyai hubungan tetap dengan pengusaha dan mewakilinya untuk mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga.
Perbedaan antara agen perusahaan dan pekerja keliling adalah pada hubungan kerja dan tempat kedudukan, seperti diuraikan berikut:
Ø Pekerja keliling mempunyai hubungan hukum tenaga kerja dengan pengusaha (majikan), sedangkan agen perusahaan mempunyai hubungan hukum pemberian kuasa dengan perusahaan yang diageninya.
Ø Pekerja keliling adalah karyawan perusahaan majikan¬nya, dia tidak berdiri sendiri dan berkedudukan di tempat kedudukan perusahaan, sedangkan agen perusahaan bukan bagian dari perusahaan yang diageninya, melainkan perusahaan yang berdiri sendiri.
Hubungan pengusaha dengan agen perusahaan adalah sama tinggi dan sama rendah, seperti pengusaha dengan pengusaha. Hubungan agen perusahaan bersifat tetap. Agen perusahaan juga mewakili pengusaha, maka ada hubungan pemberi kuasa. Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI, Buku II, KUHPER, mulai dengan pasal 1792, sampai dengan 1819. Perjanjian bentuk ini selalu mengandung unsur perwakilan (volmacht) bagi pemegang kuasa (pasal 1799 KUHPER). Dalam hal ini agen perusahaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha.

b) Perusahaan perbankan
Perusahaan perbankan adalah lembaga keuangan yang mewakili pengusaha untuk melakukan :
Ø Pembayaran kepada pihak ketiga;
Ø Penerimaan uang dari pihak ketiga; dan
Ø Penyimpanan uang milik pengusaha selaku nasabah.

c) Pengacara
Pengacara ialah orang yang mewakili pengusaha ini dalam berperkara di muka hakim. Dalam mewakili pengusa ini pengacara tidak hanya terbatas dimuka hakim saja, juga mengenai segala persoalan hukum di luar hakim. Hubungan antara pengacara dengan pengusaha adalah hubungan tidak tetap, sedang sifat hukumnya berbentuk pelayanan berkala dan pemberian keputusan.

d) Notaris
Seorang notaris dapat membantu pengusaha dalam membuat perjanjian dengan pihak ketiga. Hubungan notaris dengan pengusaha bersifat tidak tetap, sebagai juga halnya dengan pegacara hubungan hukumnya bersifat pelayan berkala dan pemberian kekuasaan. Notaris adalah pejabat umum, khusus berwenang untuk membuat akte mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan, yang dipertahkan oleh peraturan umum atau yang diinginkan oleh yang berkepentingan, agar dapat ternyata pada akta otentik itu tentang kepastian tanggal, menyimpan akta dan menerbitkan grossen, turunan dan kutipan, semua itu bila pembuatan akta itu oleh peraturan umum tidak dibebankan atau dijadikan kepada pejabat atau orang lain.

e) Makelar
Menurut pengertian Undang-undang, seorang makelar pada pokoknya adalah seorang perantara yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ke tiga untuk mengadakan berbagai perjanjian. Makelar mempunyai ciri khusus, yaitu:
(1) Makelar harus mendapat pengangkatan resmi dari pemerintah (c.q. Mentri Kehakiman) – (pasal 62 ayat (1))
(2) Sebelum menjalankan tugasnya, makelar harus bersumpah di muka Ketua Pengadilan Negeri, bahwa dia akan menjalankan kewajibannyadengan baik (pasal 62 ayat (1))
Mengenai makelar diatur dalam KUHD, buku 1, pasal 62 sampai 72, dan menurut pasal 62 ayat (1) makelar mendapat upahnya yang disebut provisi atau courtage. Sebagai perantara atau pembantu pengusaha, makelar mempunyai hubungan yang tidak tetap dengan pengusaha (pasal 62 ayat (1)). Hubungan ini tidak sama halnya dengan pengacara, tetapi lain dengan hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha. Adapun sifat hukum dari hubungan tersebut adalah campuran yaitu sebagai pelayan berkala dan pemberian kuasa.

Makelar dan agen perusahaan kedua-duanya berfungsi se¬bagai wakil pengusaha terhadap pihak ketiga. Akan tetapi, antara keduanya terdapat perbedaan pokok dilihat dan segi:
Ø Hubungan dengan pengusaha: makelar mempunyai hubungan tidak tetap, sedangkan agen perusahaan mempunyai hubungan tetap.
Ø Bidang usaha yang dijalankan: makelar dilarang ber¬usaha dalam bidang mana dia diangkat dan dilarang menjadi penjamin dalam perjanjian yang dibuat dengan pengantaraannya, sedangkan agen perusahaan tidak dilarang.
Ø Formalitas menjalankan perusahaan: makelar diangkat oleh Menteri Kehakiman dan disumpah, sedangkan agen perusahaan tidak. Akan tetapi, sekarang formalitas ini tidak relevan lagi.

f) Komisioner
Mengenai komisioner diatur dalam pasal 76 sampai dengan pasal 85 KUHD. Dalam pasal 76 KUHD dirumuskan, bahwa komisioner adalah seorang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama firma dia sendiri, tetapi atas amanat dan taggungan orang lain dan dengan menerima upah atau provisi (komisi) tertentu.

Adapun ciri-ciri khas komisioner ialah:
(1) Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagai halnya makelar,
(2) Komisioner menghubungkan komitetn dengan pihak ketiga atas namanya sendiri (pasal 76),
(3) Komisioner tidak berkewajiban untuk menyebut namnay komiten (pasal 77 ayat (1)). Dia disini menjadi pihak dalam perjanjian (pasal 77 ayat (2)),
(4) Tetapi komisioner juga dapat bertindak atas pemberi kuasanya (pasal 79). Dalam hal ini maka dia tunduk pada Bab XVI, buku II KUHPER tentang pemberian kuasa, mulai pasal 1972 dan seterusnya. Konisioner mempunyai hubungan kerja tidak tetap dan koordinatif dengan pengusaha.

ref:
http://students.sunan-ampel.ac.id/pangeraninsomnia/2010/12/02/pengusaha-dan-pembantu/

Berlakunya Hukum Dagang

Hukum pedagang ini mulanya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum dagangnya sendiri. Kemudian disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka pada abad ke-17 di Perancis diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang. Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan yaitu “Ordonnance du Commerce”pada tahun 1673. Peraturan ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk golongan tertentu yaitu kaum pedagang.

Ordonnance du Commerce ini pada tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain yaitu “Ordonnance de la Marine”yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk pedagang kota pelabuhan). Selanjutnya pada tahun 1807 di Perancis selain terdapat Code Civil des Francais yang mengatur Hukum Perdata Perancis, telah dibuat juga Kitab UU Hukum Dagang sendiri yaitu Code de Commerce yang didasarkan dari Ordonnance du Commerce dan Ordonnance de la Marine. Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat Hukum Dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce dan dipisahkan dari hukum Perdata yang dikodifikasikan dalam Code Civil.

Kemudian kodifikasi hukum Perancis tersebut tahun 1807 dinyatakan berlaku juga di Nederland sampai tahun 1838. Pada saat itu pemerintah Nederland menginginkan adanya Hukum Dagang sendiri. Dalam usul KUHD Belanda dari tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas 3 Kitab, tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Perkara-perkara dagang diselesaikan di muka pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya berdasarkan asas konkordansi pula, KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD di Indonesia. Pada tahun 1893 UU Kepailitan dirancang untuk menggantikan Buku III dari KUHD Nederland dan UU Kepailitan mulai berlaku pada tahun 1896. (C.S.T. Kansil, 1985 : 11-14).

KUHD Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 April 1847 (S. 1847-23), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. KUHD Indonesia itu hanya turunan belaka dari “Wetboek van Koophandel” dari Belanda yang dibuat atas dasar asas konkordansi (pasal 131 I.S.). Wetboek van Koophandel Belanda itu berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1838 dan 1 Januari di Limburg. Selanjutnya Wetboek van Koophandel Belanda itu juga mangambil dari “Code du Commerce” Perancis tahun 1808, tetapi anehnya tidak semua lembaga hukum yang diatur dalam Code du Commerce Perancis itu diambil alih oleh Wetboek van Koophandel Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil, misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan dalam lapangan perniagaan (speciale handelsrechtbanken)(H.M.N.Purwosutjipto, 1987 : 9).
Pada tahun 1906 Kitab III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan Kepailitan yang berdiri sendiri di luar KUHD. Sehingga sejak tahun 1906 indonesia hanya memiliki 2 Kitab KUHD saja, yaitu Kitab I dan Kitab I (C.S.T. Kansil, 1985 : 14). Karena asas konkordansi juga maka pada 1 Mei 1948 di Indonesia diadakan KUHS. Adapun KUHS Indonesia ini berasal dari KUHS Nederland yang dikodifikasikan pada 5 Juli 1830 dan mulai berlaku di Nederland pada 31 Desember 1830. KUHS Belanda ini berasal dari KUHD Perancis (Code Civil) dan Code Civil ini bersumber pula pada kodifikasi Hukum Romawi “Corpus Iuris Civilis” dari Kaisar Justinianus (527-565) (C.S.T. Kansil, 1985 : 10).

Para sarjana tidak satu pun memberikan pengertian tentang perusahaan, pengertian dapat dipahami dari pendapat antara lain :
  1. Menurut Hukum, Perusahaan adalah mereka yang melakukan sesuatu untuk mencari keuntungan dengan menggunakan banyak modal (dalam arti luas), tenaga kerja, yang dilakukan secara terus – menerus dan terang – terangan untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperniagakan barang – barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.
  2. Menurut Mahkamah Agung (Hoge Read), perusahaan adalah seseorang yang mempunyai perusahaan, jika secara teratur melakukan perbuatan – perbuatan yang bersangkutpaut dengan perniagaan dan perjanjian.
  3. Menurut Molengraff, mengartikan perusahaan (dalam arti ekonomi) adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus – menerus, bertindakkeluar, untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperdagangkan perjanjian – perjanjian perdagangan.
  4. Menurut Undang – undang Nomor 3 Tahun 1982, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus, dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
Pengusaha adalah setiap orang atau badang hukum yang langsung bertanggung jawab dan mengambil resiko suatu perusahaan dan juga mewakili secara sah. Oleh karena itu pengusaha dapat berbentuk sebagai berikut :
  • Ia seorang diri saja,
  • Ia sendiri dan dibantu oleh para pembantu,
  • Orang lain yang mengelolah dengan pembantu – pembantu.
Pembantun – pembantu dalam perusahaan terdiri dari dua macam sebagai berikut :
  1. Didalam Perusahaan. Mempunyai hubungan yang bersifat Sub Ordinasi yaitu hubungan atas dan bawah, sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan,
  2. Diluar Perusahaan. Mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi yaitu hubungan yang sejajar, sehingga berlaku suatu perjanjian pemberian kuasa antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dan kan memperoleh upah, seperti yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata.
 sumber : wikipedia.org
Hukum dalam Ekonomi oleh Advendi Simangunsong, S.H., M.M.

Pengertian Hukum Dagang dan Hubungannya dengan Hukum Perdata

Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.

Adapun hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata tercantum dlm KUHD(PASAL 1 KUHD).
Prof. Subeki berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hal ini dikarenakan Hukum Dagang relatif sama dengan Hukum Perdata. Selain itu, pengertian “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antarnegara baru berkembang dalam abad pertengahan.
Pada beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat dan Swiss, tidak terdapat suatu Kitab UU Hukum Dagang yang terpisah dari KUHS. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi kalangan pedagang saja, misalnya :
a. Hanyalah pedagang yang diperbolehkan membuat surat wesel.
b. Hanyalah pedagang yang yang dapat dinyatakan pailit.
Akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, termasuk yang bukan pedagang.
Dapat dikatakan bahwa sumber yang terpenting dari Hukum Dagang adalah KUHS. Hal ini memang dinyatakan dalam pasal 1 KUHS yang berbunyi “KUHS dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS.” Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHS.
Dengan demikian sudahlah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai Hukum khusus terhadap Hukum umum. Menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo, KUHD merupakan suatu Lex Specialis terhadap KUHS yang sebagai Lex Generalis. Maka sebagai Lex Specialis apabila dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai soal yang terdapat pula pada KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku. Beberapa pendapat sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini diantaranya :
a. Van Kan beranggapan bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata. Dengan kata lain Hukum Dagang merupakan suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS menurut Hukum Perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit itu.
b. Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang adalah suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS.
c. Sukardono mengatakan bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang….sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS.”
d. Tirtamijaya menyatakan bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.
Dalam hubungan Hukum dagang dan Hukum Perdata ini dapat pula dibandingkan dengan sistem hukum negara di Swiss. Seperti juga Indonesia, negara Swiss juga berlaku dua buah kodifikasi yang juga mengatur bersama hukum perdata, yaitu :
a. Schweizeriches Zivil Gesetzbuch dari tanggal 10 Desember 1907 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1912.
b. Schweizeriches Obligationrecht dari tanggal 30 Maret 1911, yang mulai berlaku juga pada 1 Januari 1912.
Kodifikasi yang kedua ini mengatur seluruh Hukum Perikatan yang di Indonesia diatur dalam KUHS (Buku III) dan sebagian dalam KUHD (C.S.T. Kansil, 1986 : 309-310).

sumber: 
  • http://www.gudangmateri.com/2010/10/definisi-dan-sejarah-hukum-dagang.html
  • C.S.T. Kansil. 1985. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta : Aksara baru

Kamis, 03 Maret 2011

Hukum Perjanjian part 2

Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.

Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.


Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.

Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
♫ Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
♫ Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
♫ Terkait resolusi atau perintah pengadilan
♫ Terlibat hokum
♫ Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian

sumber: http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Perjanjian.pdf
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/hukum-perjanjian-5/

Hukum Perjanjian part 1

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
  • Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
    • Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
  • Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
  1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
  2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
  3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
  1. Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
  2. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
  2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
  3. Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
  1. Pemenuhan perikatan
  2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
  3. Ganti rugi
  4. Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
  5. Pembatalan dengan ganti rugi
Syarat-syarat sah perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.
3.  Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4.  Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

sumber :
wikipedia.org 
http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Perjanjian.pdf

Hukum Perikatan

Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih didalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum. Unsur-unsur perikatan :
  1. Hubungan hukum.
  2. Harta kekayaan.
  3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
  4. Prestasi.
Hak dan kewajiban para pihak
Debitur :
  1. Berkewajiban membayar utang (Schlud).
  2. Berkewajiban memberikan harta kekayaannya untuk melunasi hutangnya (HAFTUNG).
Unsur-unsur objek perikatan :
1. Objek tersebut tidak diperkenankan.
2. Harus ditentukan, artinya harus ditentukan jenisnya. Contoh : membeli motor merk Honda.
3. Harus dimungkinkan, sesuai dengan akal pikiran. Contoh : pengeluaran lebih besar daripada pendapatan.
Hubungan perikatan buku III dengan buku II adalah adanya lapangan harta kekayaan.
Buku II bersifat memaksa atau mengikat atau tertutup
Buku III bersifat mengatur atau melengkapi atau terbuka.
Ruang lingkup hukum perikatan :
  1. Perikatan pada umumnya :
    • Pengaturan hukum perikatan.
    • Pengertian-pengertian hukum perikatan.
    • Subjek perikatan.
    • Objek perikatan.
    • Sumber perikatan.
    • Jenis-jenis perikatan.
  2. Perikatan yang bersumber dari perjanjian :
    • Pengertian perjanjian.
    • Syarat sahnya perjanjian.
    • Unsur-unsur perjanjian.
    • Jenis perjanjian.
    • Akibat hukum suatu perjanjian.
    • Hapusnya perjanjian.
  3. Perikatan yang bersumber dari undang-undang :
    • Perikatan yang lahir dari undang-undang saja.
    • Perikatan yang lahir dari undang-undang karena peruatan manusia yang sah.
    • Perbuatan melawan hukum :
a. Pengaturannya.
b. Pengertiannya.
c. Unsur-unsurnya.
d. Akibat hukumnya.
  1. Perjanjian tertentu atau bernama
    • Jual beli.
    • Sewa menyewa.
    • Pemberian kuasa.
Pengaturan hukum perikatan :
1. Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata dari pasal 1233-1456 KUH Perdata.
2. Buku III KUH Perdata bersifat :
· Terbuka, maksudnya perjanjian dapat dilakukan oleh siapa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang.
· Mengatur, maksudnya karena sifat hukum perdata bukan memaksa tetapi disepakati oleh kedua belah pihak.
· Melengkapi, maksudnya boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian karena tergantung pada kesepakatan.
Hal diatas kebalikan dari buku II yaitu bersifat tertutup.
Hubungan perikatan dengan daluwarsa adalah pembuktian.
Pengertian hukum perikatan :
  1. Istilah :
    • Perikatan
1. Verbintenis
2. Overeenkomist
    • KUH Perdata
1. Verbintenis = perikatan.
2. Overeenkomist = persetujuan.
    • Utrechts
1. Verbintenis = perikatan.
2. Overeenkomist = perjanjian.
    • A. Ichsan
1. Verbintenis = perjanjian.
2. Overeenkomist = persetujuan.
    • Verbintenis ~ verbinden ~ mengikat
Jadi menunjukkan adanya ikatan atau hubungan.
    • Overeenkomist ~ overeen komen ~ setuju atau sepakat
Jadi mengandung kata sekapat atau persetujuan.
  1. Definisi hukum perikatan :
    • Hofmann
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
    • Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
    • Vollmar
Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.
  1. Unsur-unsur dalam perikatan :
    • Hubungan hukum
Maksudnya adalah bahwa hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pad apihak lain dan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hukum dapat memaksakannya.
    • Harta kekayaan
Maksudnya adalah untuk menilai bahwa suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini yang membedakannya dengan hubungan hukum dibidang moral (dalam perkembangannya, ukuran penilaian tersebut didasarkan pada rasa keadilan masyarakat).
    • Para pihak
Pihak yang berhak atas prestasi = kreditur, sedangkan yang wajib memenuhi prestasi = debitur.
    • Prestasi (pasal 1234 KUH Perdata), prestasi yaitu :
a. Memberikan sesuatu.
b. Berbuat sesuatu.
c. Tidak berbuat sesuatu.
Definisi perikatan
“Hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.
Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban. Mora kreditoris adalah pihak kreditur yang berhak dapat merugikan pihak debitur. Titik tolak hukum :
1. Penghormatan pada manusia.
2. Perlindungan.
3. Penghormatan.
Prestasi berupa :
  1. Memberikan sesuatu => prestasi atau memberikan semua hak milik.
  2. Berbuat sesuatu => tidak memberikan semua hak milik dan perbuatannya tidak termasuk memberikan sesuatu.
  3. Tidak berbuat sesuatu => wanprestasi.
Riele executie :
  1. Pasal 1241 KUH Perdata.
  2. Adalah bahwa kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan dengan biaya dari debitur berdasarkan masa yang diberikan hakim, apabila debitur enggan melaksanakan prestasi itu.
Debitur dan kreditur
Debitur :
1. Berkewajiban membayar utang (schuld).
2. Berkewajiban memberikan harta kekayaannya untuk melunasi utangnya (Haftung). Contoh : penjaminan.
Kreditur :
  1. Berhak menagih (vordeningsrecht).
  2. Berhak menagih harta kekayaan debitur sebesar piutangnya (verhaalsrecht).
Schuld = kewajiban debitur untuk memenuhi prestasi.
Haftung = harta kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut (pasal 1131 KUH Perdata).
Contoh : A berutang kepada B dan karena A tidak mau membayar hutangnya, maka kekayaan A dilelang atau dieksekusi untuk dipergunakan bagi pelunasan.
Sumber perikatan :
  1. Undang-undang (pasal 1352 BW)
    1. UU saja, lahirnya anak (pasal 250) dan hak bertetangga (pasal 1625).
    2. UU karena perbuatan manusia :
      • Perbuatan sah, perwakilan sukarela (pasal 1354), pembayaran tidak wajib (pasal 1359).
      • Perbuatan melawan hukum :
· Perbuatan : berbuat atau tidak berbuat.
· Melawan hukum ; sebelum (pasal 1919) dan arti sempit dan sesudah (pasal 1919) dalam arti luas.
· Kerugian ; material dan immaterial.
· Kesalahan ; causalitas (condition sinequanon theorie dan adequate theorie).
  1. Perjanjian
    1. Syarat sahnya perjanjian (pasal 1320).
    2. Jenis-jenis perjanjian :
· Tidak dikenal dalam KUH Perdata : perjanjian beli sewa, leasing, fiducia.
· Dikenal dalam KUH Perdata : perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam mengganti.
Tiga unsur-unsur onrechtmatige :
  1. Perbuatan melawan hukum.
  2. Adanya kesalahan.
  3. Adanya kerugian.
  1. adanya hubungan causalitas.
Condition sinequanon theorie = hubungan semua unsur dari semua akibat adalah sebab. Sedangkan adequate theorie = semua sebab yang menimbulkan akibat harus di hukum. Sedangkan sub norm theorie = sesuatu yang melawan hukum berarti melawan hukum.
Objek perikatan
Objek perikatan disebut prestasi.
Bentuk-bentuk prestasi :
1. Memberikan sesuatu.
2. Berbuat sesuatu.
3. Tidak berbuat sesuatu.
Wanprestasi
Bentuk wanprestasi :
  1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan.
  2. Debitur terlambat memenuhi perikatan.
  3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Akibatnya : jika merugikan wajib mengganti kerugian.
  1. Ganti rugi.
  2. Pembatalan.
  3. Pelaksanaan + ganti rugi.
  4. Pembatalan + ganti rugi.
Sumber hukum perikatan secara materil ada dua yaitu uu dan uu Karena perbuatan manusia. Pasal 1365 mengenai akibat melawan hukum dengan menggganti kerugian yaitu dengan adanya pembuktian dan hubungan causalitas. Syarat sahnya perjanjian adalah persetujuan antara kedua belah pihak (pasal 1320) dimana yang dimaksudkan “persetujuan” kedua belah pihak dan kemudian diganti “perjanjian” karena berdasarkan kesepakatan “comunis equino dictum” = doktrin dari para ahli. Ingkar janji itu maknanya terlalu sempit, antara kata “tidak berprestasi sama sekali” memiliki makna yang sama dengan “terlambat prestasi” disatu sisi. Contoh : karena keterlambatan pemenuhan prestasi oleh debitur sehingga dianggap tidak bermanfaat lagi kepada kreditur, maka dapat disebut tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Keliru ada dua yaitu :
  1. Keliru karena kualitasnya, contoh : A membeli beras dari B tetapi, kemudian A membayar Rp 5000 tanpa tahu kualitas beras yang diberikan B.
  2. Keliru karena bentuknya, contoh : A memesan beras rojo lele dari B, akan tetapi B mengirimkan beras pandan kepada A.
Overmacht (keadaan memaksa) :
  1. Pasal 1244.
  2. Unsur-unsur overmacht.
  3. Ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu :
    • Tidak memenuhi prestasi.
    • Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur.
    • Factor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Akibat overmacht :
Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut.
Risiko :
  1. Adalah suatu ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan overmacht.
  2. Luas ganti rugi (kerugian yang nyata).
Pasal 1246.
  1. Kerugian yang diduga.
Pasal 1247.
Akibat hukumnya : wajib membayar penggantian biaya, rugi dan bunga.
Biaya = ongkos-ongkos yang dkeluarkan oleh debitur.
Rugi = berkurangnya harta kekayaan dari kreditur.
Bunga = sesuatu yang harus diperoleh kreditur.
Somasi
Penetapan lalai (somasi) :
  • Penetapan lalai merupakan upaya untuk sampai kepada suatu saat dimana debitur dinyatakan ingkar janji atau disebut lalai.
Pasal 1238 KUH Perdata
Si ber-utang adalah lalai, apabila :
1. Dengan surat perintah (bevel) atau.
2. dengan akte sejenis (soortgelijke akte) itu telah dinyatakan lalai, atau
3. Demi perikatannya sendiri yang menetapkan bahwa berutang lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Akibat hukumnya : wajib membayar penggantian biaya rugi dan bunga.
Jika ada somasi yang lebih dari satu, dengan tanggal berbeda, maka yang dipakai adalah yang paling ringan, bukan paling lama.
Perbuatan dalam perjanjian terdiri dari :
  1. Perbuatan biasa.
  2. Perbuatan hukum.
  3. Perbuatan melawan hukum.
Jenis-jenis perikatan :
  1. Isi dari prestasinya
    • Perikatan positif dan negative.
    • Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
    • Perikatan alternative.
    • Perikatan fakultatif.
    • Perikatan generic dan spesifik.
    • Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
  2. Subjek-subjeknya
· Perikatan solider atau tanggung renteng.
· Perikatan principle atau accesoire.
JENIS-JENIS PERIKATAN
Perikatan dapat dibedakan menurut :
  1. Isi daripada prestasinya :
    • Perikatan positif dan negative.
Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu. Sedangkan pada perikatan negative prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu.
    • Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
Adakalanya untuk pemenuhan perikatan cukup hanya dilakukan dengan salah satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai, misalnya perikatan untuk menyerahkan barang yang dijual dan membayar harganya.
Perikatan-perikatan semacam ini disebut perikatan sepintas lalu. Sedangkan perikatan, dimana prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu, dinamakan perikatan berkelanjutan. Misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan sewa menyewa atau persetujuan kerja.
    • Perikatan alternative.
Perikatan alternative adalah suatu perikatan, dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan.
Menurut pasal 1272 BW, bahwa dalam perikatan alternative debitur bebas dari kewajibannya, jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan. Misalnya, A harus menyerahka kuda atau sapinya kepada B. pasal tersebut adlaah tidak lengkap, karena hanya mengatur tentang “memberikan sesuatu” dan yang dapat dipilih hanya diantara dua barang saja. Kekurangan tersebut dilengkapi oleh pasal 1277 BW, yang mengatakan : asas-asas yangs ama berlaku juga, dalam hal jika ada lebih dari dua barang yang termasuk ke dalam perikatan yang terdiri dari berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Perikatan menjadi murni bila :
a. Jika salah satu barang tidak lagi merupakan objek perikatan (pasal 1274).
b. Debitur atau kreditur telah memilih prestasi yang akan dilakukan.
c. Jika salah satu prestasi tidak mungkin lagi dipenuhi (pasal 1275).
    • Perikatan fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang objeknya hanya berupa satu prestasi, dimana debitur dapat mengganti dengan prestasi lain. Jika pada perikatan fakultatif, karena keadaan memaksa prestasi primairnya tidak lagi merupakan objek perikatan, maka perikatannya menjadi hapus. Berlainan halnya pada perikatan alternative, jika salah satu prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi karena keadaan memaksa, perkataannya menjadi murni.
    • Perikatan generic dan spesifik.
Perikatan generic adalah perikatan dimana objeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya. Sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang objeknya ditentukan secara terperinci. Arti penting perbedaan antara perikatan generic dan spesifik adalah dalam hal :
a. Resiko
Pada perikatan spesifik, sejak terjadinya perikatan barangnya menjadi tanggungan kreditur. Jadi jika bendanya musnah karena keadaan memaksa, maka debitur bebas dari kewajibannya untuk berprestasi (pasal 1237 dan 1444 BW).
b. Tempat pembayarannya (pasal 1393)
Pasal 1393 BW menentukan bahwa jika dalam persetujuan tidak ditetapkan tempat pembayaran, maka pemenuhan prestasi mengenai barang tertentu berada sewaktu persetujuan dibuat. Sedangkan pembayaran mengenai barang-barang generic harus dilakukan ditempat kreditur.
    • Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak. Pasal 1299 BW menentukan bahwa jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur prestasinya harus dilaksanakan sekaligus, walaupun prestasinya dapat dibagi-bagi. Baru timbul persoalan apakah perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak jika para pihak atau salah satu pihak dan pada perikatan terdiri dari satu subjek. Hal ini dapat terjadi jika debitur atau krediturnya meninggal dan mempunyai ahli waris lebih dari satu.
Akibat daripada perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi, adalah bahwa kreditur dapat menuntut terhadap setiap debitur atas keseluruhan prestasi atau debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan perikatan.
Prestasi yang tidak dapat dibagi-bagi dibedakan :
a. Menurut sifatnya
Menurut pasal 1296 BW perikatan tidak dapat dibagi-bagi, jika objek daripada perikatan tersebut yang berupa penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya tidak dapat dibagi-bagi. Menurut Asser’s, dalam pengertian hukum sesuatu benda dapat dibagi-bagi jika benda tersebut tanpa mengubah hakekatnya dan tidak mengurangi secara menyolok nilai harganya dapat dibagi-bagi dalam bagian-bagian.
b. Menurut tujuan para pihak
Menurut tujuannya perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, jika maksud para pihak bahwa prestasinya harus dilaksanakan sepenuhnya, sekalipun sebenarnya perikatan tersebut dapat dibagi-bagi. Perikatan untuk menyerahkan hak milik sesuatu benda menurut tujuannya tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun menurut sifat prestasinya, dapat dibagi-bagi.
  1. Subjek-subjeknya :
    • Perikatan solider atau tanggung renteng.
Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng, jika berdasarkan kehendak para pihak atau ketentuan undang-undang :
a. Setiap kreditur dari dua atau lebih kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur, dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya (tanggung renteng aktif).
b. Setiap debitur dari dua atau lebih debitur-debitur berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan prestasi. Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur lainnya (tanggung renteng pasif).
Tanggung renteng terjadi karena :
a. Berdasarkan pernyataan kehendak
Menurut pasal 1278 BW terdapat perikatan tanggung renteng aktif, jika dalam persetujuan secara tegas dinyatakan bahwa kepada masing-masing kreditur diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh prestasi.
b. Berdasarkan ketentuan undang-undang
Perikatan tanggung renteng yang timbul dari undang-undang tidak banyak kita jumpai. Undang-undang hanya mengatur mengenai perikatan tanggung renteng pasif. Ketentuan-ketentuan yang mengatur perikatan tanggung renteng dalam BW adalah pasal 563 BW ayat 2. Mereka yang merampas dengan kekerasan dan orang yang menyuruhnya tanggungjawab untuk seluruhnya secara tanggung menanggung.
Akibat daripada perikatan tanggung renteng aktif
Adalah setiap kresitur berhak menuntut pemenuhan seluruh prestasi, dengan pengertian bahwa pelunasan kepada salah satu daripadanya, membebaskan debitur dari kewajibannya terhadap kreditur-kreditur lainnya (pasal 1278 BW). Sebaliknya debitur sebelum ia digugat, dapat memilih kepada kreditur yang manakah ia akan memenuhi prestasinya.
Pelepasan perikatan tanggung renteng
Pelepasan sepenuhnya mengakibatkan hapusnya tanggung renteng. Sedangkan pada pelepasan sebagian, bagi debitur-debitur yang tidak dibebaskan dari tanggung renteng, masih tetap terikat secara tanggung renteng atas utang yang telah dikurangi dengan bagian debitur yang telah dibebaskan dari perikatan tanggung renteng.
Hapusnya perikatan tanggung renteng
Perikatan hapus jika debitur bersama-sama membayar utangnya kepada kreditur atau debitur membayar kepada semua kreditur. Novasi antara kreditur dengan para debiturnya, menghapuskan pula perikatan. Menurut pasal 1440 BW, bahwa pembebasan utang kepada salah satu debitur dalam perikatan tanggung renteng membebaskan para debitur-debitur lainnya.
    • Perikatan principle atau accesoire.
Apabila seorang debitur atau lebih terikat sedemikian rupa, sehingga perikatan yang satu sampai batas tertentu tergantung kepada perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan accesoire. Misalnya perikatan utang dan borg.
Dalam satu persetujuan dapat timbul perikatan-perikatan pokok dan accesoire, misalnya pada persetujuan jual beli, perikatan untuk menyerahkan barang merupakan perikatan pokoknya, sedangkan kewajiban untuk memelihara barangnya sebagai bapak rumah tangga yang baik sampai barang tersebut diserahkan merupakan perikatan accesoire.
  1. Mulai berlaku dan berakhirnya perikatan :
    • Perikatan bersyarat.
Suatu perikatan adalah bersyarat, jika berlakunya atau hapusnya perikatan tersebut berdasarkan persetujuan digantungkan kepada terjadi atau tidaknya suatu peristiwa yang akan datang yang belum tentu terjadi. Dalam menentukan apakah syarat tersebut pasti terjadi atau tidak harus didasarkan kepada pengalaman manusia pada umumnya. Menurut ketentuan pasal 1253 BW bahwa perikatan bersyarat dapat digolongkan ke dalam :
a. Perikatan bersyarat yang menangguhkan
Pada perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi. Misal : A akan menjual rumahnya kepada B, jika A diangkat menjadi duta besar. Jika syarat tersebut dipenuhi (A menjadi duta besar), maka persetujuan jual beli mulai berlaku. Jadi A harus menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya.
b. Perikatan bersyarat yang menghapuskan
Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi. Jika perikatan telah dilaksanakan seluruhnya atau sebagian, maka dengan dipenuhi syarat perikatan, maka :
1. Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak terjadi perikatan.
2. Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya.
Dapat dikemukakan sebagai contoh bahwa perikatan yang harus dikembalikan dalam keadaan semula, adalah misalnya A menjual rumahnya kepada B dengan syarat batal jika A menjadi Duta Besar. Jika syarat tersebut dipenuhi, maka rumah dan uang harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Syarat-syarat yang tidak mungkin dan tidak susila
Menurut pasal 1254 BW, syarat yang tidak mungkin terlaksana dan bertentangan dengan kesusilaan adalah batal. Perumusan pasal tersebut adalah tidak tepat, karena bukan syaratnya yang batal akan tetapi perikatannya yang digantungkan pada syarat tersebut. Syarat yang tidak mungkin harus ditafsirkan sebagai syarat yang secara objektif tidak mungkin dipenuhi. Jika hanya debitur tertentu saja yang tidak memenuhi syaratnya, tidak dapat mengakibatkan perikatan batal. Misal A memberikan uang kepada B dengan syarat jika ia melompat dari ketinggian 100 meter, adalah batal. Akan tetapi jika A memberikan uang kepada B dengan syarat jika ia berenang dipemandian adalah sah, sekalipun B tidak dapat berenang.
    • Perikatan dengan ketentuan waktu.
Perikatan dengan ketentuan waktu adalah perikatan yang berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau peristiwa tertentu yang akan terjadi dan pasti terjadi. Waktu atau peristiwa yang telah ditentukan dalam perikatan dengan ketentuan waktu itu pasti terjadi sekalipun belum diketahui bila akan terjadi. Jadi dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau ketentuan waktu, harus melihat kepada maksud dari pada pihak. Perikatan dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi :
a. Ketentuan waktu yang menangguhkan
Menurut beberapa penulis ketentuan waktu yang menanggungkan, menunda perikatan yang artinya perikatan belum ada sebelum saat yang ditentukan terjadi. Lebih tepat kiranya apa yang telah ditentukan oleh pasal 1268 BW bahwa perikatannya sudah ada, hanya pelaksanaannya ditunda. Debitur tidak wajib memenuhi prestasi sebelum waktunya tiba, akan tetapi jika debitur memenuhi prestasinya, maka ia tidak dapat menuntut kembali.
b. Ketentuan waktu yang menghapuskan
Mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak diatur oleh masing-masing secara umum. Memegang peranan terutama dalam perikatan-perikatan yang berkelanjutan, misalnya pasal 1570 dan pasal 1646 sub 1 BW. Dengan dipenuhi ketentuan waktunya, maka perikatan menjadi hapus. Seorang buruh yang mengadakan ikatan kerja untuk satu tahun, setelah lewat waktu tersebut tidak lagi berkewajiban untuk bekerja.
PERIKATAN YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN
Persetujuan pada umumnya
Pasal 1313 BW memberikan definisi mengenai persetujuan sebagai berikut : “persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu :
1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 BW.
Sehingga perumusannya menjadi : persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Bagian-bagian (unsur-unsur) persetujuan
Unsur dari perjanjian terdiri dari :
  1. Essensialia
Bagian ini merupakan hal-hal yang memuat sifat dari perjanjian harus ada, karena menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve).
  1. Naturalia
Bagian ini merupakan hal-hal yang bersifat sejajarnya (natuur) ada dalam suatu perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misal : jaminan penjual bahwa tidak ada cacat dari benda yang dijualnya (vrijwaring).
  1. Aksidentalia
Bagian ini merupakan hal-hal yang sifatnya melekat pada suatu perjanjian karena secara tegas diperjanjikan.
Macam-macam persetujuan obligatoir :
  1. Persetujuan sepihak dan timbal balik
Hendaknya diperhatikan bahwa setiap persetujuan merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Persetujuan timbal balik adalah persetujuan yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak (jual beli, sewa menyewa). Persetujuan sepihak adalah persetujuan, dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja (hibah).
  1. Persetujuan dengan Cuma-Cuma atau atas beban
Persetujuan atas beban adalah persetujuan dimana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan yang lain (jual beli, sewa menyewa). Persetujuan dengan Cuma-Cuma adalah persetujuan, dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak yang lain secara Cuma-Cuma.
  1. Persetujuan konsensuil, riil dan formil
Persetujuan konsensuil adalah persetujuan yang terjadi dengan kata sepakat. Persetujuan riil adalah persetujuan, dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang misalnya : penitipan barang, pinjam pakai dan pinjam mengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam bentuk tertentu atau formil. Misal : hibah.
  1. Persetujuan bernama, tidak bernama dan campuran
Persetujuan-persetujuan bernama adalah persetujuan-persetujuan, dimana oleh undang-undang telah diatur secara khusus. Diatur dalam BW bab V s.d. XVIII ditambah title VII A; dalam KUHD persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Tidak selalu dengan pasti kita dapat mengatakan apakah suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan yang sulit dikualifikasikan sebagai persetujuan bernama atau tidak bernama (persetujuan campuran). Hanya dalam satu hal undang-undang memberikan pemecahannya yaitu, yang tersebut dalam pasal 1601 C. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka dapat dikemukakan tiga teori :
· Teori absorptie
Menurut teori ini diterapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan daripada persetujuan yang dalam persetujuan campuran tersebut paling menonjol.
· Teori combinatie
Menurut teori ini persetujuan dibagi-bagi dan kemudian atas masing-masing bagian tersebut diterapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk bagian-bagian tersebut.
· Teori generis
Menurut teori ini, ketentuan-ketentuan daripada persetujuan-persetujuan yang terdapat dalam persetujuan campuran diterapkan secara analogis.
Macam-macam persetujuan lainnya :
  1. Persetujuan liberatoire (pasal 1440 dan pasal 1442 BW)
Persetujuan liberatoire adalah perbuatan hukum yang atas dasar sepakat para pihak mengahpuskan perikatan yang telah ada. A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, yang dua hari kemudian dibatalkan lagi atas persetujuan mereka.
  1. Persetujuan dalam hukum keluarga
Misalnya perkawinan. Inipun merupakan persetujuan karena terjadi berdasarkan kata sepakat suami istri. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa persetujuan ini mempunyai ubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.
  1. Persetujuan kebendaan
Persetujuan ini diatur dalam buku II BW dan merupakan persetujuan untuk menyerahkan benda atau menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.
  1. Persetujuan mengenai pembuktian
Para pihak adalah bebas untuk mengadakan persetujuan mengenai alat-alat pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses. Dapat ditentukan pula alat pembuktian yang tidak boleh dipergunakan. Menentukan kekuatan alat bukti.
Berlakunya persetujuan
Persetujuan pada asasnya hanya mengikat pihak-pihak yang membuat persetujuan saja (pasal 1315-pasal 1318 dan pasal 1340 BW). Akan tetapi ternyata terhadap asas tersebut undang-undang mengadakan pengecualian yang tersebut dalam pasal 1317 BW, yaitu mengenai janji bagi kepentingan pihak ketiga. Pasal 1316 yang mengatur persetujuan untuk menanggung atau menjamin pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, sebenarnya bukan merupakan pengecualian dari pasla 1315. karena seseorang yang menanggung pihak ketiga untuk berbuat sesuatu, mengikatkan dirinya atas sesuatu kewajiban terhadap lawannya dalam persetujuan, bahwa manakala pihak ketiga tidak melakukan apa yang diharapkan daripadanya ia akan membayar ganti rugi. Dalam hal ini pihak ketiga menurut hukum tidak terikat oleh persetujuan tersebut.
Janji bagi kepentingan pihak ketiga (derdenbeding)
Janji bagi pihak ketiga adalah suatu janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan, dimana ditentukan bahwa pihak ketiga akan mendapatkan hak atas suatu prestasi. Janji semacam ini sering tampak dalam praktek seperti pada asuransi jiwa atau pada pemberian konsensi, dimana kotapraja memberi izin untuk mendirikan pabrik gas dengan syarat bahwa kepada penduduk akan diberi gas dengan kondisi-kondisi tertentu.
Menurut pasal 1317 BW, janji bagi kepentingan pihak ketiga hanya mungkin dalam dua hal, yaitu :
  1. Jika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain, misal A menghadiahkan rumahnya kepada B dengan membebankan kepada B kewajiban untuk melakukan sesuatu prestasi untuk C.
  2. Jika seseorang dalam persetujuan membuat suatu janji untuk kepentingan sendiri. Misal A menjual rumahnya kepada Bdengan janji bahwa B akan melakukan beberapa prestasi untuk C.
Hal-hal yang mengikat dalam perjanjian (pasal 1338, 1339, 1347 BW) :
  1. Isi perjanjian
  2. Undang-undang
  3. Kebiasaan
  4. Kepatutan
Akibat perjanjian yang sah (1338 BW) :
  1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai bagi yang membuatnya.
  2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selai dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
  3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Penafsiran isi perjanjian :
  1. Jika kata-kata perjanjian jelas, tidak dikarenakan menyimpang.
  2. Hal-hal yang memuat perjanjian selamanya diperjanjikan, dianggap dimasukan dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
  3. Semua janji yang dibuat dalam perjanjian harus diartikan dalam hubungan satu sama lain (ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya).
  4. Jika ada keraguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
  5. Meskipun arti kata-kata dalam perjanjian luas atau tetapi perjanjian hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan untuk kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian.
Timbulnya hak bagi pihak ketiga
Untuk menentukan timbulnya hak bagi pihak ketiga, terdapat tiga teori, yaitu :
  1. Teori penawaran
Menurut teori ini janji untuk pihak ketiga dianggap sebagai suatu penawaran dari seseorang yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga. Selama pihak ketiga belum menyatakan menerima penawaran tersebut, penawaran itu masih dapat dicabut kembali. Janji pihak ketiga baru timbul setelah penawaran diterima.
  1. Teori pernyataan yang menentukan sesuatu hak (theorie rechtbevestigende verklaring)
Menurut teori ini, hak pihak ketiga terjadi pada saat dibuatnya pesetujua antara pihak yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga dan pihak yang mempunyai kewajiban terhadpa pihak ketiga. Janji tersebut masih dapat ditarik kembali dan ini akan menghapuskan hak pihak ketiga. Penerimaan oleh pihak ketiga meniadakan hak untuk mencabut janji tersebut.
  1. Teori pernyataan untuk memperoleh hak (theorie rechtverkrijgende verklaring)
Teori ini mengemukakan bahwa hak pihak ketiga baru terjadi setelah pihak ketiga menyatakan kehendaknya untuk menerima janji tersebut. Hoge Raad menganut teori ini.
Perbuatan melawan hukum terhadap orang 1365 BW
Perbuatan melawan hukum terhadap badan 1367 BW
Perbuatan melawan hukum terhadap penguasa 1365-1367 BW
Kategori perbuatan melawan hukum terhadap organ atau badan :
  1. Harus ada hubungan perbuatan dengan lingkungan kerja organ tersebut.
  2. Organ bertindak untuk memenuhi kewajibannya yang dibebankan kepadanya.
Kriteria perbuatan melawan hukum bagi penguasa adalah penguasa hanya dapat melakukan perbuatan melawan hukum, jika dia diluar kewajibannya dalam lapangan hubungan publik yang diembannya.
Hapusnya perikatan (1381 BW) :
  1. Karena pembayaran.
  2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
  3. Karena pembaharuan utang. Contoh : A kredit uang dibank, setelah 2 tahun dia tidak bisa membayar, karena pailit atau what ever ? maka bank melakukan pembaharuan utang.
  4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi. Contoh : A utang pada B, tetapi A punya piutang pada C jumlahnya bisa lebih kecil atau lebih besar. Maka utangnya dialihkan.
  5. Karena percampuran utang.
  6. Karena pembebasan utangnya.
  7. Karena musnahnya barang yang terutang. Contoh : kredit motor, tetapi akhirnya motor tersebut hilang sebelum lunas, maka kalau dulu langsung bebas, tetapi sekarang harus dicicil.
  8. Karena kebatalan atau pembatalan. Contoh : dalam hutang piutang yang jumlahnya terlalu besar maka hakim dapat melakukan pembatalan.
  9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini.
  10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri. Contoh : perjanjian hutang gadai.
Dalam sewa menyewa, kerusakan barang jika kecil ditanggung oleh penjual, kalau kerusakan barang jika besar maka ditanggung oleh pembeli. Jual beli tidak putus karena adanya sewa menyewa. Dalam perkembangannya, sewa menyewa tidak diminati lagi apabila tidak ada jangka waktu. Dalam sewa menyewa dan jual beli, kewajiban penjual adalah memberikan barang dengan kualitas yang baik. Leasing adalah bukan termasuk dalam perjanjian jual beli, karena barang yang sudah diserahkan kepada penjual tetapi dia punya hak privillege atau hak utama untuk membeli. Dalam perjanjian penangguhan hutang, pihak ketiga merupakan penjamin dari kedua belah pihak (yaitu pihak kesatu dan kedua). Perjanjian dapat dicabut jika salah satu pihak melanggar ketentuan yang ada (UU). Hibah tidak diperbolehkan dalam pihak suami istri. Perjanjian jual beli tidak mengatur ketentuan pembelian kembali dari jual beli yang pertama. Jika debitur melakukan wanprestasi maka dia harus memberikan prestasi dan uang ganti rugi, kecuali karena overmacht debitur tidak mengganti uang ganti rugi. Yang berwenang menagih uang paksa adalah pengadilan.
Penanggungan hutang
Definisi (pasal 1820 BW)
Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Sebagaimana diketahui, segala kebendaan seorang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan meskipun demikian, jaminan secara umum itu sering dirasakan kurang aman, karena kekayaan si berutang pada suatu waktu bisa habis.
Tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun dapatlah seorang memajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan, biarpun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya pribadi si berutang, misalnya dalam hal kebelumdewasaan. Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat, daripada perikatan si berutang. Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk lebih dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, maka perikatan itu tidak sama sekali batal, melainkan ia adalah sah hanya untuk apa yang diliputi oleh perikatan pokoknya.
Penitipan
Penitipan adalah terjadi, apabila menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Macam-macam penitipan :
1. Penitipan yang sejati
Dianggap telah dibuat dengan Cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya. Penitipan ini hanya menegnai barang-barang bergerak. Penitipan barang terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa. Penitipan barang dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal-balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan. Penitipan barang dengan sukarela hanyalah dapat terjadi antara orang-orang yang mempunyai kecakapan untuk membuat perikatan-perikatan. Jika namun itu seorang yang cakap untuk membuat perikatan-perikatan, menerima penitipan suatu barang dari seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan-perikatan, maka tunduklah ia kepada segala kewajiban yang dipikul oleh seorang penerima titipan yang sungguh-sungguh.
2. Sekestrasi
Adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk setelah perselisihan ini diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa akan dinyatakan berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada terjadi dengan perjanjian dan ada pula yang dilakukan atas perintah hakim. Sekestrasi terjadi dengan perjanjian, apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela.
Perjanjian Leasing
Pengertian leasing adalah perjanjian pembiayaan dan barang itu langsung menjadi milik kita, tetapi tidak pada kenyataannya, dalam leasing ada hak utama untuk membeli.
Penyertaan modal pada perusahaan sewa guna usaha (leasing)
Dasar hukum bagi bank yang akan menjalankan penyertaan modal pada perusahaan sewa guna usaha (leasing), selain undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, juga keputusan Presiden nomor 64 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan dan keputusan menteri keuangan nomor 1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan.
Sewa guna usaha adalah istilah yang dipakai untuk menggantikan istilah leasing. Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris, yaitu to lease yang berarti menyewakan, tetapi berbeda pengertiannya dengan rent. Dalam bahasa Belandanya istilah ini adalah financieringshuur.
Leaisng dalam praktek hukum mempunyai pengertian sebagai kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala yang disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut, untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati. Pada pasal 1 angka 9 keputusan presiden nomor 61 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan, pengertian leasing ini disederhanakan sebagai suatu usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Finance lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Perbedaan antara bank dan leasing adalah
Bank adalah suatu badan usaha yang bertujuan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, kemudian menyalurkan atau meminjamkan dana tersebut kepada pihak yang memerlukannya. Sedangkan leasing (sewa guna usaha) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Jenis-jenis leasing ini dapat berupa usaha sewa guna usaha, modal patungan (ventura), usaha kartu kredit dan lain-lain.
Kalau bank, sumber dananya dari masyarakat, sedangkan leasing, sumber dananya dari sewa dan pinjam meminjam.
Sedangkan persamaan antara bank dan leasing adalah sama-sama meminjamkan uang.
Note :
· Sita jaminan = pasal 1822, 1338, 1339 dan 1320
· Pinjam pengganti dilihat dari kuantitas barangnya, sedangkan pinjam pakai dilihat dari kuantitas dan kualitas barangnya.
· Victoring adalah lembaga penagihan hutang.
· Perjanjian dalam perkembangan = franchise, contohnya tidak memakai satu nama dan satu sistem manajemen.
· Leasing adalah perjanjian pembiayaan dan barang itu langsung jadi milik kita tetapi ternyata tidak pada kenyataannya tapi ada hak utama untuk membeli atau hak opsi.
· Sekestrasi terdapat dalam pasal 1771 BW
· Beli sewa = jual beli tetapi dialihkan
· Beli sewa harus ada akta, bentuknya akta kalau tidak ada dinamakan jual beli dengan cicilan.
· Jual beli = beli sewa, akantetapi karakteristiknya antara lain :
a. Ditangguhkan atau pengalihan hak milik dengan sendirinya
b. Jatuh tempo yang menggugurkan
c. Dilarang memindahtangankan, harus jujur dengan memberikan hak orang lain.
  • Kesimpulannya yaitu dalam prakteknya beli sewa berusaha harus mengandung :
  1. Pemilikan tetap pada penjual sampai pembelian
  2. Pembeli saat itu mempunyai hak pakai atas benda tersebut
  3. Pembeli membayar dengan mengangsur pada waktu ditentukan
  4. Setelah pembayaran lunas, pembeli menjadi pemilik barang.
sumber: elc here.blogspot.com/hukum-perikatan